Tuesday, March 30, 2010

Balada Matematika Moh.Amin

Inilah salah satu percik peristiwa yang membuat jam terbang seorang pendidik mekar. Atau kita sering berujar; asam garam orang hidup di dunia. Barangkali pengalaman seperti ini tidak banyak dialami oleh guru di daerah “normal” seperti sekolah lazimnya di Jogja. Ini Aceh saudara, sebuah wilayah NKRI yang pernah diterjang gelombang besar Tsunami dan diporak-porandakan oleh konflik bersenjata.
***

Aku mengajar siang, matematika lagi. Sebuah mata pelajaran yang bukan merupakan Fak-ku. Tapi karena tugas, maka tak ada pilihan lain. Bismillah. Detak Jam menunjukkan pukul 11.10WIB. Sesuai agenda, hari ini ada kuis matematika, semacam tes kecil untuk mengetahui tingkat pemahaman anak-anak tentang pelajaran ini. Semua khusyuk mengerjakan lembar soal yang kubagikan. Namun ada satu anak yang beda. Moh. Amin, atau panggil saja Amin.
Wajah anak ini “Aceh sekali” begitu pun logatnya. Sangat kental. Ia sering bicara bahasa Aceh daripada Indonesia. Baru beberapa pekan aku mengajar di sekolah ini, sehingga belum semua karakter anak kuhafal. Hanya lewat SISTO saja aku membaca riwayat mereka. Dan kurasa itu sangat belum cukup. Dan yang kukenal dari seorang Amin ia adalah sosok pemberontak. Ia belajar sesuai dengan kemauannya sendiri, asal pelajaran itu bisa buat ia bergerak dan berekspresi,ia akan senang. Tapi jangan ditanya jika sebaliknya. Begitu pun kejadian kali ini.

Suasana tenang ujian terusik ketika kulihat Amin tidak mengerjakan soal matematika yang kuberi. Ia malah memanggul tas ranselnya seolah ia mau pulang. Bahkan soal yang kubagikan satu soal untuk dua siswa dengan nomor ganjil-genap malah dicoret-coretnya. Agak emosi pula aku, kertas di sini tidak mudah di dapat. Fotokopi saja harus mencatat di lembar penggunaan aset; Fotokopi apa, untuk apa, berapa lembar, lalu tanda tangan. Eeee ini anak malah menyia-nyiakan kertas. Soal dicoret-coret lagi. Apa maunya anak ini.
Kudekati ia, agak keras kutegur Amin,
“ Hei Amin, ada apa denganmu? Kenapa soalnya tidak dikerjakan?”
Ia menjawab sekenanya, “ Susah lah Pak. Tak bisa saya.”
“ Tidak bisa boleh saja, tapi tidak harus mencoret-coret soal begini. Kamu tidak menghargai saya Ya?”
Amin  terdiam. Tetapi matanya tajam menatapku. Tak ada rasa gentar sedikitpun dengan teguranku. “ Lalu kenapa kamu bawa tas, mau keluar hah?”
“ Iya Pak, di sini tak ada kerjaan.” Jawabnya ringan.
“ Apa?! Tak ada kerjaan katamu?! Baik, kalau begitu di luar banyak sepatu yang belum rapi. Sekarang keluar sana dan rapikan!!”
Amin diam, kali ini dia tidak menatap mataku seperti tadi. Ia hanya menggeleng acuh. “ ……”
Semakin merah telingaku, kurebut soal dari hadapannya dan kuberikan pada Ahlul Zikri dan Fata Imanda yang duduk di meja belakangnya. Amin tetap diam tanpa protes. Dan benar saja, hingga akhir kuis ia hanya duduk, diam dan mencoret kertas tanpa peduli yang sedang berlangsung di kelas. Aku hanya geleng-geleng kepala, orang Jawa bilang “ Judheg rasane”
Jam sekolah usai, namun rasa penasaranku belum. Bakda Sholat Zuhur dan makan siang, aku duduk di tepi koridor dekat asrama. Semakin ingin aku untuk mengenal anak didikku lebih dekat. Kuputuskan untuk bicara lebih dekat. Kali ini dengan VII A girls, yang memang sedang berkumpul di dekatku duduk.Mereka adalah Ayu, Safrina, Una, Elfi and friends yang seperti diundang untuk turut nimbrung. Hm, mungkin selama ini aku terlalu ‘guru’ buat mereka, sehingga ketika melihatku sedikit berakrab maka hilanglah keraguan untuk berinteraksi lebih dekat.

Dan seolah ada sutradara yang mengarahkan perbincangan kami pada Moh.Amin, anak Meulaboh yang tadi kubentak. Dari perbincangan itu barulah aku tahu siapa Amin dari Una dan Ayu:
“Kasihan anak itu Pak,dia dulu korban konflik. Dia sebatang kara, ayah dan mamaknya meninggal saat bentrok TNI dan GAM. Sekarang dia agak-agak stress gitu.”
Bergetar dadaku, kucoba bertanya lagi.   
“Dia dulu jadi anak jalanan Pak. Setelah orangtuanya tidak ada, dia dipelihara orang bersama adiknya. Tapi dia sering disiksa. Lihat saja pak, di badannya ada bekas luka-luka. Disiram air panas, dipukul dan dirotan. Itulah Pak, jadi dia tidak betah. Kaburlah ia.” Cerita Mariana dengan logat khas Aceh.
“Tapi Pak... Amin setelah kabur teringat adiknya, lalu balik lagi ke rumah orang yang memungut dia tadi. Di sana adiknya sudah tidak ada. Nggak tau, sudah dijual mungkin. Amin stres Pak, sampai akhirnya di ditemukan oleh guru sini di terminal bis. Tapi selama sekolah disini, setiap dia ingat adik atau orang tuanya yang sudah tidak ada, dia sering marah-marah sendiri. Ditendangnya kotak sampah dan mengumpat-umpat, atau kadang soal ulangan di yang jelek nilainya dibuang di muka ibuk guru. Lagi-lagi ia kenak marah. Sama buk Fitri juga begitu dulu.”
   
Astaghfirullah.Ya Alloh, ampuni aku. Termenung aku sebentar. Pantas dari dulu pertama aku masuk kelas matematika, Amin tak pernah membawa buku. Ia senang lebih senang mencorat coret kertas dan cuek dengan  tulisan di papan tulis. Aku ingat protesnya waktu ketika pelajaran  matematika  tidak kubuka denga ice breaking. “Main lah Pak, jangan kelas B saja yang diberi!” Dari testimoni kawan-kawan sekelasnya itu, baru kusadari bahwa aku telah berbuat zalim pada Amin yang malang. Aku makin merasa bersalah karena sudah membentaknya tanpa belajar tentang apa yang melatarbelakanginya berbuat hal itu.
Sadar dari lamunan, kusadari mereka menanti aku bicara lagi. Kualihkan pembicaraan pada topik yang lain.
“Siapa lagi yang ada dari Meulaboh?”
“Ada pak, Qisthi.” Lalu mereka saling menggoda jika ada nama anak laki-laki disebut namanya, dijodoh-jodohkan begitu. Masa puber.
“Kalau Ayu dari Langsa Pak.”
Kualihkan pandangku pada gadis berkerudung hitam manis yang duduk di depanku itu. Di kelas ia sangat periang. Dialah yang sering main pukul-pukulan dengan anak lak-laki.
“Ayu dulu hidup di gunung Pak.”
“Eee maksudnya, nggak kena Tsunami?” Tanyaku memperjelas.
“Bukan Pak, ayah dulu nggak diterima tinggal di desa, jadi harus naik ke gunung”
“Oo, jj..jadi ayah Ayu GAM ya?” Aku bertanya dengan hati-hati
“Iya pak.” Jawabnya_ yang aku heran, ia menjawab sambil tersenyum. “Sekarang di mana?”
“Ayah sudah meninggal waktu perang, kena tembak tentara. Nggak ada lagi, Pak.”
“Innalillahi...” Heranku sekali lagi, masih bisa anak ini mendermakan senyumnya padaku.
Pembicaraan itu berlanjut dengan renyah, meskipun dibaliknya aku menahan sedih. Anak-anak muridku yang malang.    Waktu demi waktu telinga serta hatiku terus diajari oleh murid-muridku ini tentang nilai kesabaran, keteguhan dan ketabahan. Satu demi satu mereka bercerita tentang rumahnya yang hancur diterjang gelombang, keluarga mereka yang tewas,  harta yang habis dan....soal matematikaku yang terlalu sulit.
Pantas, selama ini nilai Matematika di dua kelas yang kuajar berkisar antara  re mi fa sol la. Kupikir waktu itu aku hebat karena  berhasil menunjukkan “standar Kota Pelajar Yogyakarta” pada mereka.

Aku layak menyesal, karena membuat soal tidak dari sudut pandang mereka. Ego terlalu melangit, ingin bekerja instan tanpa riset mendalam. Benar kata orang bijak, bahwa apabila nilai sebagian besar siswa jelek, jangan salahkan siswanya, tetapi salahkan gurunya karena tidak bisa memahami sejauh mana kemampuan siswanya. Alias gurunya yang nggak pinter! Baru sekarang terasa sekali makna kalimat itu bagiku.
Tak kusangka Amin melintas di depan kami. Ia tampak murung. Mungkin hari ini ia sedang teringat lagi dengan adiknya, ayahnya, mamaknya atau kehidupan jalanannya dulu. Kusapa dia, “Where are you going Amin?” Ia menoleh sedikit, tersungging di bibirnya sebuah senyum getir. Tidak ia jawab petanyaan basa basi itu. Ia hanya berlalu melewati diam kami. Entah apa yang bergemuruh di hatinya. Entah.

Obrolan Menjelang Tidur: Part Two



Rembulan masih saja setia menemani diskusi kami malam ini. Sama, di teras depan rumah dinas Kepala Sekolah SMP. Tentu saja dengan orkestra Gareng Pung  dan sedikit gelak tawa samar anak-anak dari asrama putra.

Entah bagaimana awalnya kami sudah masuk pada diskusi tentang pernikahan. Sebagai pelaku pernikahan dini, tentu saja dengan semangat kuceritakan semua liku perjalanan menikah saat kuliah. Bagaimana meyakinkan orang tua dan mertua agar mengizinkan kami menikah, menghadapi stigma masyarakat bahwa mahasiswa yang menikah saat kuliah biasanya karena           “kecelakaan” dulu, bagaimana menghadapai tantangan ekonomi agar kami berdua bisa tetap bayar kuliah sambil bisa makan 3 kali sehari, hingga akhirnya bukti-bukti bahwa menikah dini yang didasari semangat untuk menjaga agama dan diri justru akan memantik prestasi-prestasi!
Bang Muchlish mendengarkan dengan seksama, entah apa yang ada di pikirannya. Ia hanya berkata, “ Iya, saya juga harus bantu biaya kuliah adik. Saya tahu rasanya.” Putra nanggroe Aceh ini bergumam, “ Enak ya di jawa tidak harus pake emas kawin.” Mendengar itu aku sedikit protes, “Ya,pake dong Bang, maskawin itu kan salah satu rukun menikah!”

Bang Muchlish senyum, “Bukan maskawin tetapi Emas kawin.”
Mendengar hal itu aku mengernyitkan dahi. “ Maksudnya?”
“Pernah mendengar kata Mayam?” Aku geleng-geleng.
“ Mayam adalah satuan lokal Aceh untuk mahar. Ia senilai dengan 3 gram emas….mmmm berapa tuh, ya kira-kira sembilan ratus ribu rupiah lah. Jadi mayam  itu pula satuan syarat yang harus diserahkan kepada mertua anak gadis yang kita pinang. Besarnya terkadang memberatkan pihak laki-laki.”
“ Bukannya sebaik-baiknya wanita adalah yang paling mudah maharnya?”
“ Itu benar, tetapi di sini budaya mengalahan agama. Kalo boleh cerita, itu terjadi pula pada dua kakakku (kakak di Aceh artinya  mbak jika di Jogja_pen), kakak yang pertama menikah dengan mahar 15 mayam. Hhh, nggak tau, mungkin setelah nikah, uang mereka habis semua buat bayar mayam. Dan mayam itu pun buat orang tuanya, belum tentu sampai ke anaknya lagi. ”
Aku sedikit menyela, “Ada Bang, teman saya orang Medan, dia sekolah magister di Jogja. Waktu menikah memang hampir sama, yaitu pihak keluarga laki-laki harus menyerahkan sejumlah uang dan perabot rumah tangga. Tetapi setelah selesai, semua uang dan perabot itu diserahkan kepada mempelai wanita…..ya kembali lagi untuk rumah tangga mereka kelak.”
Bang Muchlis meneruskan lagi setelah manggut sedikit, “ Sedangkan kakak yang ke dua juga sama. Bahkan mamak saya meminta mayam yang lebih besar, 20 mayam.  Ya, sekitar 17 juta. Calon suaminya keberatan, begitu pun saya. Begitulah, adat juga bicara bahwa jika ada anak menikah dengan mayam tertentu, maka anak berikutnya harus lebih mahal dari yang pertama.”
“ Wah kok begitu ya?” Heranku.
“ Makanya, untuk kakak pertama saya mungkin kurang vokal tapi untuk kakak yang kedua saya berani protes dengan orang tua. Mana ada budaya mengalahkan Agama! Eee, malah saya dibilang bahwa disekolahkan tinggi malah menentang adat. Saya tidak menyerah, dan alhamdulillah kakak yang kedua ini kritis juga_dia jadi PNS dan sekarang kerja di Jakarta bersama suaminya, lalu memutuskan sendiri jumlah mayamnya berapa. Akhirnya mayam kakak kedua bisa lebih ringan dari yang disyaratkan. Memang tidak langsung boleh, tetapi terus saya bela. Yang mau nikah saja mau kok, kenapa orang tua yang mengatur. Memangnya yang mau nikah siapa? Bukan orang tuanya khaan?” Bang Muchlish tampak berapi-api.
   
Aku manggut-manggut, lalu bertanya lagi,” Sebenarnya apa sih Bang patokan murah mahalnya Mayam tu?”
“ Itu juga yang saya kurang paham, tetapi biasanya dari tingkat pendidikan si wanita atau kedudukan sosialnya di masyarakat. Kalau wanitanya sarjana, itu bisa 15 sampai 20 mayam. Makanya ada teman yag menikahi gadis ketika masih sekolah SMA. Memang tidak langsung berumah tangga, tetapi paling tidak mayam nya lebih murah. Benar lho, Itu terjadi.”
“Begitu ya, padahal di Jawa itu malah sebaliknya. Kalo di Jogja saja contohnya. Jika menikah, justru pihak wanita yang menyiapkan semuanya. Dari tamu undangan, pesta perkawinan, upacara ijab kabul dan sebagainya. Pihak laki-laki hanya datang, ijab dan pulang. Paling-paling bantu uang berapa gitu. Enak khan? Gimana enggak, setiap mahasiswa sekolah di sana, lulus, kemudian menikah dengan gadis Jawa, ia seperti orang penting. Ketika lamaran disetujui, ia tinggal “ menunggu panggilan” ijab kabul saja. Bahkan untuk urusan rumah bisa tinggal bersama mertua. Sudah biasa di sana.”
“ Kalau begitu nikah dengan orang Jawa saja apa ya?”
Bang Muchlis ikut tergelak lalu meneruskan kisah  yang semakin hangat saja ini, “Saya ada cerita asli dari teman saya. Ini hanya bagian kecil dari pemuda-pemuda Aceh yang mengeluhkan tentang mahalnya mahar untuk wanita Aceh. Padahal Islam, seperti kata abang tadi mengatur untuk mempermudah anak-anak muda supaya menikah, maka mahar yang terbaik adalah yang paling mudah. Kalau di sini budaya mengalahkan syariat. Nah, teman saya itu hanya punya uang dua juta. Dia ingin menikahi gadis yang dia cintai, tetapi sayangnya si ibu gadis itu ingin mahar 10 mayam. Tentu saja sangat berat bagi teman saya tadi. Ia menawar terus, tetapi si ibu juga tetap bersikeras.”
“Karena putus asa, ia curhat sama saya begini, Aku punya uang dua juta, kalo tidak ingat iman mending kupakai uang itu untuk ke Medan saja selesai urusan! Bayar bis 200 ribu, penginapan paling 300 ribu, di sana aku bisa gonta-ganti perempuan untuk lampiaskan hasratku. Biarin, orang tua cewek itu juga ikut tanggung dosanya! Habis mau gimana lagi, mau nikah saja susah, anak kok seperti barang dagangan untuk dibeli!
“ Masya Alloh” Dalam hati aku turut sedih. Sedikit banyak aku pernah merasakan rasanya ketika ingin menikah dan tidak pula izin kunjung datang. Sungguh ironi, di serambi Mekah yang ditahbiskan menjunjung Syariat Islam ini hal tersebut masih saja terjadi. Menurutku adat ini jika terus dipertahankan akan merusak pelan-pelan dari dalam. Jika para pemuda sulit menikah, maka mereka bisa terjerumus maksiat yang lebih besar. Sedangkan para wanita jika sekolah tinggi-tinggi dan mayam nya semakin mahal, dikhawatirkan sedikit peluangnya untuk dipinang oleh laki-laki. Bisa dibayangkan jika pemuda-pemudi muslim dalam usia yang sudah wajib menikah tetapi terhalang oleh adat yang mempersulit tadi. Resiko zina menjadi lebih tinggi. Wahai para orang tua yang budiman, tolong dengarkan suara hati putra-putrimu ini.
***
    Malam semakin larut. Kantuk datang dengan gaya khasnya. Kami sudahi obrolan itu tanpa solusi pasti untuk permasalahan yang kami bincangkan. Bang Muchlis masuk ke kamarnya, begitu pun aku. Di kamar, aku melihat istriku dan Habib sudah tidur. Entah kenapa, sebuah perasaan menyelinap di relung dadaku. Aku merasa sangat bersyukur telah berhasil mendapatkan istriku. Aku dianugerahi Alloh pendamping hidup dengan sedikit perjuangan saja, jika dibandingkan dengan saudara-saudaraku pemuda Aceh di sini. “ Alhamdulillah Ya Alloh, Engkau telah berikan nikmat yang besar padaku. Di saat gairah kepemudaanku sedang mencapai buncahan titik rawannya, Engkau redakan dengan datangnya belahan jiwa di sisiku. Alhamdulillah”.

    Kubelai rambut istriku, kuberi kecupan di keningnya. Ia terbangun oleh rasa hangat di kening. Tersenyum. Dan....... malam itu begitu hangat untuk kami berdua.
Obrolan Menjelang Tidur: Part Two

Rembulan masih saja setia menemani diskusi kami malam ini. Sama, di teras depan rumah dinas Kepala Sekolah SMP. Tentu saja dengan orkestra Gareng Pung  dan sedikit gelak tawa samar anak-anak dari asrama putra.

Entah bagaimana awalnya kami sudah masuk pada diskusi tentang pernikahan. Sebagai pelaku pernikahan dini, tentu saja dengan semangat kuceritakan semua liku perjalanan menikah saat kuliah. Bagaimana meyakinkan orang tua dan mertua agar mengizinkan kami menikah, menghadapi stigma masyarakat bahwa mahasiswa yang menikah saat kuliah biasanya karena           “kecelakaan” dulu, bagaimana menghadapai tantangan ekonomi agar kami berdua bisa tetap bayar kuliah sambil bisa makan 3 kali sehari, hingga akhirnya bukti-bukti bahwa menikah dini yang didasari semangat untuk menjaga agama dan diri justru akan memantik prestasi-prestasi!
Bang Muchlish mendengarkan dengan seksama, entah apa yang ada di pikirannya. Ia hanya berkata, “ Iya, saya juga harus bantu biaya kuliah adik. Saya tahu rasanya.” Putra nanggroe Aceh ini bergumam, “ Enak ya di jawa tidak harus pake emas kawin.” Mendengar itu aku sedikit protes, “Ya,pake dong Bang, maskawin itu kan salah satu rukun menikah!”

Bang Muchlish senyum, “Bukan maskawin tetapi Emas kawin.”
Mendengar hal itu aku mengernyitkan dahi. “ Maksudnya?”
“Pernah mendengar kata Mayam?” Aku geleng-geleng.
“ Mayam adalah satuan lokal Aceh untuk mahar. Ia senilai dengan 3 gram emas….mmmm berapa tuh, ya kira-kira sembilan ratus ribu rupiah lah. Jadi mayam  itu pula satuan syarat yang harus diserahkan kepada mertua anak gadis yang kita pinang. Besarnya terkadang memberatkan pihak laki-laki.”
“ Bukannya sebaik-baiknya wanita adalah yang paling mudah maharnya?”
“ Itu benar, tetapi di sini budaya mengalahan agama. Kalo boleh cerita, itu terjadi pula pada dua kakakku (kakak di Aceh artinya  mbak jika di Jogja_pen), kakak yang pertama menikah dengan mahar 15 mayam. Hhh, nggak tau, mungkin setelah nikah, uang mereka habis semua buat bayar mayam. Dan mayam itu pun buat orang tuanya, belum tentu sampai ke anaknya lagi. ”
Aku sedikit menyela, “Ada Bang, teman saya orang Medan, dia sekolah magister di Jogja. Waktu menikah memang hampir sama, yaitu pihak keluarga laki-laki harus menyerahkan sejumlah uang dan perabot rumah tangga. Tetapi setelah selesai, semua uang dan perabot itu diserahkan kepada mempelai wanita…..ya kembali lagi untuk rumah tangga mereka kelak.”
Bang Muchlis meneruskan lagi setelah manggut sedikit, “ Sedangkan kakak yang ke dua juga sama. Bahkan mamak saya meminta mayam yang lebih besar, 20 mayam.  Ya, sekitar 17 juta. Calon suaminya keberatan, begitu pun saya. Begitulah, adat juga bicara bahwa jika ada anak menikah dengan mayam tertentu, maka anak berikutnya harus lebih mahal dari yang pertama.”
“ Wah kok begitu ya?” Heranku.
“ Makanya, untuk kakak pertama saya mungkin kurang vokal tapi untuk kakak yang kedua saya berani protes dengan orang tua. Mana ada budaya mengalahkan Agama! Eee, malah saya dibilang bahwa disekolahkan tinggi malah menentang adat. Saya tidak menyerah, dan alhamdulillah kakak yang kedua ini kritis juga_dia jadi PNS dan sekarang kerja di Jakarta bersama suaminya, lalu memutuskan sendiri jumlah mayamnya berapa. Akhirnya mayam kakak kedua bisa lebih ringan dari yang disyaratkan. Memang tidak langsung boleh, tetapi terus saya bela. Yang mau nikah saja mau kok, kenapa orang tua yang mengatur. Memangnya yang mau nikah siapa? Bukan orang tuanya khaan?” Bang Muchlish tampak berapi-api.
   
Aku manggut-manggut, lalu bertanya lagi,” Sebenarnya apa sih Bang patokan murah mahalnya Mayam tu?”
“ Itu juga yang saya kurang paham, tetapi biasanya dari tingkat pendidikan si wanita atau kedudukan sosialnya di masyarakat. Kalau wanitanya sarjana, itu bisa 15 sampai 20 mayam. Makanya ada teman yag menikahi gadis ketika masih sekolah SMA. Memang tidak langsung berumah tangga, tetapi paling tidak mayam nya lebih murah. Benar lho, Itu terjadi.”
“Begitu ya, padahal di Jawa itu malah sebaliknya. Kalo di Jogja saja contohnya. Jika menikah, justru pihak wanita yang menyiapkan semuanya. Dari tamu undangan, pesta perkawinan, upacara ijab kabul dan sebagainya. Pihak laki-laki hanya datang, ijab dan pulang. Paling-paling bantu uang berapa gitu. Enak khan? Gimana enggak, setiap mahasiswa sekolah di sana, lulus, kemudian menikah dengan gadis Jawa, ia seperti orang penting. Ketika lamaran disetujui, ia tinggal “ menunggu panggilan” ijab kabul saja. Bahkan untuk urusan rumah bisa tinggal bersama mertua. Sudah biasa di sana.”
“ Kalau begitu nikah dengan orang Jawa saja apa ya?”
Bang Muchlis ikut tergelak lalu meneruskan kisah  yang semakin hangat saja ini, “Saya ada cerita asli dari teman saya. Ini hanya bagian kecil dari pemuda-pemuda Aceh yang mengeluhkan tentang mahalnya mahar untuk wanita Aceh. Padahal Islam, seperti kata abang tadi mengatur untuk mempermudah anak-anak muda supaya menikah, maka mahar yang terbaik adalah yang paling mudah. Kalau di sini budaya mengalahkan syariat. Nah, teman saya itu hanya punya uang dua juta. Dia ingin menikahi gadis yang dia cintai, tetapi sayangnya si ibu gadis itu ingin mahar 10 mayam. Tentu saja sangat berat bagi teman saya tadi. Ia menawar terus, tetapi si ibu juga tetap bersikeras.”
“Karena putus asa, ia curhat sama saya begini, Aku punya uang dua juta, kalo tidak ingat iman mending kupakai uang itu untuk ke Medan saja selesai urusan! Bayar bis 200 ribu, penginapan paling 300 ribu, di sana aku bisa gonta-ganti perempuan untuk lampiaskan hasratku. Biarin, orang tua cewek itu juga ikut tanggung dosanya! Habis mau gimana lagi, mau nikah saja susah, anak kok seperti barang dagangan untuk dibeli!
“ Masya Alloh” Dalam hati aku turut sedih. Sedikit banyak aku pernah merasakan rasanya ketika ingin menikah dan tidak pula izin kunjung datang. Sungguh ironi, di serambi Mekah yang ditahbiskan menjunjung Syariat Islam ini hal tersebut masih saja terjadi. Menurutku adat ini jika terus dipertahankan akan merusak pelan-pelan dari dalam. Jika para pemuda sulit menikah, maka mereka bisa terjerumus maksiat yang lebih besar. Sedangkan para wanita jika sekolah tinggi-tinggi dan mayam nya semakin mahal, dikhawatirkan sedikit peluangnya untuk dipinang oleh laki-laki. Bisa dibayangkan jika pemuda-pemudi muslim dalam usia yang sudah wajib menikah tetapi terhalang oleh adat yang mempersulit tadi. Resiko zina menjadi lebih tinggi. Wahai para orang tua yang budiman, tolong dengarkan suara hati putra-putrimu ini.
***
    Malam semakin larut. Kantuk datang dengan gaya khasnya. Kami sudahi obrolan itu tanpa solusi pasti untuk permasalahan yang kami bincangkan. Bang Muchlis masuk ke kamarnya, begitu pun aku. Di kamar, aku melihat istriku dan Habib sudah tidur. Entah kenapa, sebuah perasaan menyelinap di relung dadaku. Aku merasa sangat bersyukur telah berhasil mendapatkan istriku. Aku dianugerahi Alloh pendamping hidup dengan sedikit perjuangan saja, jika dibandingkan dengan saudara-saudaraku pemuda Aceh di sini. “ Alhamdulillah Ya Alloh, Engkau telah berikan nikmat yang besar padaku. Di saat gairah kepemudaanku sedang mencapai buncahan titik rawannya, Engkau redakan dengan datangnya belahan jiwa di sisiku. Alhamdulillah”.

    Kubelai rambut istriku, kuberi kecupan di keningnya. Ia terbangun oleh rasa hangat di kening. Tersenyum. Dan....... malam itu begitu hangat untuk kami berdua.

Lantunan Ayat Suci di RSUD dr.Fauziah



     Setelah menemui Rabb-ku yang bersemayam di atas 'Arasyi, Shubuh ini 19 Februari 2008, kumasuki kembali ruang VIP Qara Al Munazil di bangsal anak-anak RSUD dr Fauziah, Kota Bireuen. Habibku tergolek di atas dipan Rumah Sakit Umum Daerah Bireuen dengan selang infus menancap di tangannya.Kudengar sayup-sayup lantunan ayat suci Al Quran dibacakan dari bangsal-bangsal pasien. Bersahutan seperti irama yang membentu harmoni. Sebuah kenangan di Rumah Sakit Umum Daerah kota Bireuen.

    Asal nama Rumah Sakit ini berasal dari seorang dokter wanita yang gugur saat konflik senjata di aceh awal tahun 1998. Dokter Fauziah mengabdikan dirinya sebagai tenaga medis untuk turun ke medan pertempuran antara TNI dengan GAM. Namun nyawanya justru terenggut dalam sebuah kontak senjata. Untuk mengabadikan jasa seorang dokter wanita yang gigih berjihad hingga akhir hayat itu, pemerintah Kabupaten Bireuen mengabdikan namanya sebaagai nama Rumah Sakit ini. RSUD dr Fauziah.
"...Dan janganlah engkau katakan bahwa orang yang gugur di jalan Allah itu mati, melainkan mereka hidup di sisi Tuhan mereka..."

    Sekali dan sekali lagi,Tuhan ingin men 'training' kami dengan cara misterius yang hanya dapat dipahami dengan  bahasa hikmah. Aku sangat percaya itu. Tidaklah Alloh akan membebani seseorang di luar kemampuannya. Episode kali ini Habib lah tokoh utamanya. Anganku mencoba mereview memori, beberapa hari sebelum hari ini mendatangiku.
    Semua berawal di hari Jumat malam tanggal 15 Februari 2008. Tidak tampak tanda-tanda anak semata wayangku itu akan sakit seperti ini. Malam itu, ia justru dengan gembiranya bermain bersama murid-muridku yang datang ke wisma dan minta diajari soal persamaan linear dengan satu variabel serta keanekaragaman hayati. Ada Nasir, Agus, Reza dan Ahlul.
    Habib masih bercanda-canda dengan Agus,sambil menyaksikan film horor “Rumah Pondok Indah” di TV. Dia bercengkrama dengan siswa-siswaku hingga banyak berkeringat. Setelah malam mulai larut, anak-anak pamit. Tak ada keganjilan apa pun yang diperlihatkan Habib. Hanya saja ia mulai batuk-batuk seperti gejala pilek biasa. Dini harinya ia mulai demam.
    Setelah malam itu, batuk pileknya semakin menjadi diikuti demam yang tidak terlalu tinggi suhunya. Kupikir gejala flu biasa, tetapi tidak, ketika ia muntah-muntah. Kesedihanku dimulai. Bocah dua tahun yang lidahnya tidak begitu cocok dengan bumbu dan makanan Aceh, sekarang ditambah dengan rasa mual yang bercokol di penceraannya. Muntah dan muntah setiap perutnya diisi. Sedih rasanya hati kami.
    Singkat cerita, hanya dalam hitungan jam…Habib melemah. Ditambah lagi ia selalu muntah tidak lama setelah makanan atau minuman masuk lewat kerongkongannya. Dan itu tidak mengenal tempat. Paling sering ia muntah di seprei…..Ya Alloh, di tempat ini tidak ada mesin cuci seperti di Jogja. Mencuci harus dilakukan secara manual dengan ‘mesin’ ciptaan Alloh berupa kedua tangan. Jadilah hari-hari sibuk mengajar istriku ditambah dengan pekerjaan mencuci seprei dan sarung bantal. Benar-benar setiap hari.
    Kupikir memang kadang aku ini suami yang tak tahu diri. Kubiarkan istriku mencuci seprei-seprei itu  sendiri hanya karena alasan “jijik” pada isi perut itu. Paling-paling aku hanya membantu menjemurkan saja. Baju-baju kotor Habib mulai membumbung juga, karena jika muntah, pasti selalu mengenai baju atau celananya. Istriku memang wanita tangguh. Beruntung ia mendampingiku dalam tugas ini, jika aku sendirian mungkin tak sampai hari ini aku sudah ingin pulang.
    Hari berikutnya aku ikhtiar dengan memberikan Habib makan roti, susu dan obat batuk Tetapi nihil, ia tetap memuntahkan makanan yang masuk ke lambungnya. Badannya semakin lemas, ia tak lagi mau bermain di luar. Ia lebih suka tidur di kasur depan TV. Repotnya, di kelas aku harus terus menggendongnya. Kasihan sekali anak itu.
Akhirnya kuputuskan untuk ke rumah sakit dr Fauziah di kota. Lokasinya lumayan jauh dari kompleks sekolah…. yah hampir sama dengan perjalanan ke jantung kota, hanya saja lebih ke utara sedikit.
Di RSUD kota Bireuen itu aku membuat kartu berobat untuk Habib. Dokter anak hanya ada dua orang di kota kecil ini. Ah, aku lupa namanya… pokoknya satu dokter lelaki dan satunya dokter wanita. Waktu itu yang sedang berdinas adalah sebut saja dr. Ahmad, Sp.A. Setelah mendapat giliran periksa, dokter berperawakan kecil itu hanya berkata, “ Wah, demam tinggi ini. Sudah mondok saja.” Demi mendengar kata itu, langsung tak nyaman hatiku. Rawat inap
    Telpon dari Jogja berdering ponsel istriku. Mungkin eyang kakung dan putrinya di sana punya “feeling”bahwa sesuatu terjadi pada cucu tercintanya.
“Hah, sakit dan muntah-muntah? Bawa ke dokter…atau kalau perlu Rumah Sakit saja.” Suara Bapak terdengar meninggi.
“Tapi Pak, Rumah Sakit di sini jauh dan kami bingung bagaimana nanti harus menjaga Habib jika di sana?”
“Sudahlah, diperiksakan segera… nanti jika butuh biaya atau apa, kalau perlu bapak kirim dari Jogja. Yang penting anakmu sehat.”
“Mmm… tapi…”
“Wi (Bapak memanggilku dengan nama kecil “Luwi”), kamu jauh-jauh ke Aceh untuk apa sih? mencari nafkah untuk keluarga, anak istri ‘kan? Sekarang anakmu sedang sakit, untuk apa uang yang kau kumpulkan selama ini jika tidak untuk keluargamu? Sudahlah, tidak perlu banyak-banyak hitung, segera bawa ke Rumah Sakit.”
    Benar sudah. Sorenya, kuminta bantuan pak Bayu lagi untuk boleh meminjam mobil kantor. Tentu saja ditemani bang Ishak. Awalnya kami ke klinik Malahayati, sebuah klinik dengan ruang inap yang lokasinya tak terlampau jauh dari komplek sekolah. Kondisi Habib waktu itu sudah terlalu lemah, ia hanya menangis jika badannya kembali tak nyaman. Dan lagi, ketika minta minum dan diberi, tak lama kemudian ia memuntahkannya lewat batuk. Sedih rasanya.
    Kumasuki klinik bercat putih itu. Seorang perawat wanita dengan jilbab putih berdiri dari meja jaganya menemui kami. Wajahnya khas wanita Aceh, hidung mancung, perawakan tinggi  dan intonasinya cepat jika bicara. Kusampaikan maksudku untuk memeriksakan anakku dan jika perlu biar mondok di sini.
“Sudah ke dokter Pak?” tanyanya padaku.
“Sudah.” Kukatakan nama dokter spesialis anak di RS dr Fauziah itu.
“Oo, pak dokter Ahmad juga bertugas di sini, tetapi jika sore seperti ini beliau ada di klinik prakterk pribadi di kota. Coba ke sana saja, saya tak berani memberi perlakukan pada pasien yang ada di bawah pengobatan pak dokter.”
“Maaf, kemarin katanya anak ini diminta untuk rawat inap oleh dokter Ahmad, tetapi kami memilih berobat jalan saja….”
“Nah, apalagi sudah ada ketentuan seperti itu. Lebih baik sekarang saja menemui dokter Ahmad di kliniknya. Jam empat atau setengah lima biasanya.Kalau sudah ada rekomendasi, nanti bisa ke sini lagi dan saya berani untuk memberi tindakan.”
    Bang Ishak mencoba melobi dengan bahasa Aceh, tetapi jawabannya sama. Habib tidak bisa langsung opname di tempat itu tanpa rujukan dari dokter. Heran aku, apa hanya ada satu dokter itu di kota ini? Apa klinik sebesar ini tidak punya dokter jaga yang bisa segera menangani dulu? Jawaban-jawaban dari petugas jaga itu membuatku kecewa. Bagaimana jika kasusnya gawat dan bertalian dengan nyawa, apa ya harus menunggu dokternya datang? bagiamana ini!!? Ah sudahlah pergi saja! Berkejaran dengan waktu, kami segera meluncur menuju kinik dokter spesialis anak itu. Bang Ishak bilang dia tahu tempatnya. Rasa kecewa bercampur sedih membuat kepalaku panas. Marah!
    Mobil berhenti di depan sebuah ruko yang disulap menjadi klinik. Masya Alloh, di ruang tunggunya terdapat lebih dari tiga puluhan pasien dan pengantarnya sedang hiruk pikuk menunggu. Kebanyakan anak-anak. Batuk, pilek, demam, tangisan, jeritan dan obrolan orang tua tentang keluhan anaknya adalah aksesoris ruangan itu. Dua orang gadis berkerudung duduk di meja resepsionis. Sementara jam yang melekat di dinding menujukkan pukul 16.35 waktu setempat
    Segera kutemui perawat yang merangkap resepsionis itu. “Pak dokter belum datang, tadi siang ada rapat. Mungkin jam 5 sore baru datang. Bawa kartu pasien?” Kujawab apa adanya. “Kalau begitu daftar dulu saja, Lima ribu rupiah.” Kulihat nomor antrian ternyata nomor urut 55. Ya Tuhan, anakku sudah dehidrasi dan bisa pingsan antriannya masih kesekian? Kutanyakan pada bang Ishak apakah hanya ada satu dokter spesialis anak di Bireuen? “ Iya Pak.Pasien-pasien ini datang dari banyak kecamatan”. Aku geleng kepala, sangat minim ternyata tenaga medis di kota ini.
    Setengah jam menunggu, Habib mulai batuk-batuk. Rintihan makin sering kudengar, tetapi ia tidak menangis. Aku mondar-mandir, emosi memadat di kepala. Sekarang Habib tidak mau duduk di kursi kayu,ia hanya mau duduk di lantai. Tentu saja kularang, dingin. Begitu kularang ia malah menangis. Ternyata dehidrasi karena terus mutah membuat badannya gerah, makanya ia ingin duduk dan berbaring di lantai. Periiiih sekali hatiku. Sementara perawat itu tidak bisa berbuat apa-apa.
Ingin rasanya aku marah pada dokter-dokter yang ada di Indonesia, kenapa banyak yang ingin jadi kaya dan punya prestise tinggi tetapi tidak memahami hakikat tenaga medis itu sendiri. Kenapa mereka berebut untuk bisa bekerja di Rumah Sakit yang menggaji mahal, di kota, ber AC dan megah, tetapi lupa bahwa lebih banyak masyarakat di daerah kecil seperti ini lebih membutuhkan dokter daripada di kota besar yang masyarakatnya mampu berobat ke luar negeri. Mengapa banyak orang pintar yang berpendidikan tinggi itu lebih berorientasi pada materi daripada menekuni profesi dengan dedikasi tinggi?
Jadi ingat, bagaimana mafia-mafia kesehatan yang membuat perjanjian dengan dokter tertentu agar obat mereka terjual. Dokter-dokter hitam itu memberi resep obat-obat mahal pada pasien agar dapat bonus penjualan, tanpa melihat pasiennya mampu atau tidak. Padahal mereka tahu, ada alternatif obat yang lebih murah. Tak habis pikir aku. Apanya yang salah? Bolehlah menjadi dokter dan ingin kaya, tetapi bukan dengan cara-cara yang instan. Mau hidup enak dengan cara cepat dan tidak mengindahkan nilai-nilai sosial. Ah, semoga pikiranku ini salah dan hanya akibat keletihanku saja pada rasa kecewa yang rajin menemuiku.

Hang Out @ Saturday Night

    Bulan menggantung tanpa tiang, membentuk lingkaran tak sempurna. Warnanya kuning keperakan. Seperti biasa kubelah lapangan sepakbola dengan garis diagonal menuju mushala Al Ikhlas untuk maghrib berjamaah.
    Subhanallah, meskipun setiap hari kulihat jika akan berangkat sholat Maghrib, pemandangan di angkasa itu rajin membuatku berdecak kagum. Kawanan kelelawar besar pulau Sumatera mengepak-kepakkan tungkai depan berselaputnya, mengarungi senja menuju arah selatan. Warna gelapnya yang diselimuti temaram, tampak anggun membelai udara. Panjang tungkai depan berselaputnya dari ujung ke ujung mencapai panjang papan skateboard. Tanpa sadar bibir ini berucap lirih menyucikan asma Alloh.
    Malam minggu, malam libur. Meskipun tak begitu besar efeknya bagi anak-anak yang tinggal di asrama ini. Minggu atau bukan, mereka tetap tinggal di sekolah. Itulah kenapa, mulai sore ini anak-anak klas VII dan VIII diajak bermain, bersenang-senang bersama dengan games edukatif di lapangan sepakbola. Games ini atas inisiatif bu Jamilah, sarjana psikologi dari UGM ini melakukan evaluasi berdasarkan ilmunya, bahwa anak-anak ini berpotensi tinggi terancam kejenuhan kompleks. Apalagi jadwal kegiatan asrama (pengajian,hafalan dan banyak aktivitas lainnya) begitu padat.
    Bu Sari, sebagai guru pendamping asrama putri menjadi fasilitator games bersama bu Jamilah, atau biasa kupanggil “Jemi” saja. Mereka tampak bergembira. Kulihat juga di sana ada Safriadi, Misriadi, Syafari, Juliadi siswa laki-laki kelas VIII yang banyak dikeluhkan guru-guru atas 'keaktifan' mereka yang berlebih di dalam kelas.
***
Malamnya hang out ke kota. Untuk makan malam kami, kuputuskan untuk membeli mie dan nasi goreng di rumah makan Habibi. Dari  jok belakang kereta bang Muchlis kulihat ada pasangan muda mudi berboncengan mesra, lho kok boleh Bang? Katanya sudah ditetapkan syariat dalam Kanon? Bang Muclis bilang,” Yah sedang nggak ketahuan polisi syariah aja. Biasanya mereka kucing-kucingan. Kalau ada polisi Syariat pasangan seperti ini tidak kelihatan, tetapi jika tidak ketahuan ya seperti itu.” Aku hanya manggut-manggut saja, pikiran positifku mencoba mengatakan, “Ah itu mungkin saja abang dan adiknya.”
    Sampai di pusat kota, ibukota kabupaten menjadi riuh dengan anak-anak muda yang bercengkrama di tugu perempatan kota Juang. Seolah seluruh warga Bireuen malam itu turun ke jalan: malam Minggu gitu lho. Kontras sekali dengan waktu siang menjelang sore di hari-hari biasa, kebanyakan hanya mereka yang pulang kerja dan cari hiburan kuliner berupa nasi goreng seafood atau mie khas Aceh saja yang meramaikan kota. Tapi jika sudah malam Oo maak...ramai 'kali. Hingar bingar musik remix dari kios kios DVD (hijack quality) tak mau kalah meramaikan malam panjang. Yah semacam DuGem jalanan lah he he he...
    Memang tingkat hiburan di Bireuen terhitung sedikit, kecuali jika ada pemutaran langsung tanding bola, penuuh sekali itu warung-warung kopi. Jangan salah, warung kopi di sini, meskipun sedikit semrawut, bertengger di dindingnya TV Flat wide screen atau Plasma TV. Antena parabola seharga 500 ribu s.d 2 juta bukan barang mewah di sini, karena itulah memang syarat utama siaran TV bisa masuk.  
    Dalam perjalanan pulang aku melihat lumayan banyak becak motor yang masih beroperasi, sekali lagi…malam minggu gitu loh. Uniknya motor yang dipakai untuk becak ada juga yang termasuk keluaran akhir. Ada Honda Tiger tahun 2007 ada juga bebek keluaran tahun belakangan. Bang Muchlis turun bekomentar. Karena ia warga Aceh tulen, maka komentar ini kusimak baik-baik.
    “Orang sini memang begitu Bang, konsumtifnya parah. Jadi jangan heran kalau motor bagus-bagus jadi becak. Tiap ada motor baru, dijualnya lah motor miliknya untuk uang muka beli keluaran terbaru; Ciciiil kredit.” Sekali lagi denga huuf 'T' yang tebal seperti orang Bali.
    “Hmm, pantas pula beberapa hari yang lalu, setiap aku ingin membeli sesuatu di toko dan melihat tempat parkirnya, berjajar di sana motor-motor mulus keluaran terbaru. Sempat aku berpikir bahwa orang Bireuen kaya-kaya. Mungkin penghasilan mereka tinggi yang diikuti daya beli tinggi juga. Ternyata...dugaan tanpa data  banyak melesetnya.
Kami masuk ke gerbang sekolah Sukma Bangsa, kulihat sekilas Satpam di dalam  pos jaga sedang memainkan Ponsel NOKIA Nseries seharga dua jutaan-nya. Aku hanya tersenyum. Satu data lagi…..pikirku.
***
Di kompleks rumah dinas ternyata juga tak kalah gempitanya. Ternyata malam panjang itu di sekolah diadakan pemutaran film komedi Slapstick: Empang Breuh. Sungguh unik, film komedi ini adalah produksi Production House Lokal Aceh. Tak heran, dari wajah anak-anak itu tampak kegembiraan sekaligus kebanggan dengan “produksi dalam Naggroe” mereka. Dari tawa yang membuncah, tercermin betapa serunya komedi Slapstick, yang menurutku sedang saja tingkat lucunya_mengingat bahasanya juga bahasa Aceh yang tak kupahami, untuk mengocok perut pemirsanya.
    Bukti, bahwa masyarakat Aceh bisa menunjukkan kebanggaan dengan “produksi dalam Naggroe” mereka sendiri itu. Karena penasaran, kutanyakan pada Bang Muchlis, yang juga memiliki DVD original film itu, tentang isi dari film komedi tersebut. Ternyata Empang Breuh artinya adalah “Karung beras”. Film yang kepingan copy berseri-nya merata tersebar dari toko kaset resmi hingga distro jalanan itu, bercerita tentang kisah percintaan yang dibumbui komedi antara bang Jhoni (seorang preman insaf) dan Yusnilinda (bunga desa yang pernah kuliah di Medan).
    Pengambilan judul Empang Breuh berawal dari cerita ketika Ayah Yusnilinda terperosok ke dalam lubang dan tidak bisa keluar, hingga akhirnya ia tak sadarkan diri. Lewatlah tokoh utama, Bang Jhoni, yang kemudian menolongnya. Begitu tahu yang ditolong adalah Ayah Yusnilinda, bang Jhoni kabur. Bukan apa-apa, masalahnya ayah dari gadis yang ditaksirnya ini sangat benci pada preman kampung itu. Begitu si ayah sadar, ia bersyukur sekali pada orang yang menyelamatkannya. Sampai-sampai ia bernadazar bahwa jika penolongnya itu lelaki, maka akan dinikahkan dengan putrinya.  Waw, Yusnilinda yang jelita dan cerdas ibarat sekarung beras (keberuntungan yang besar) bagi orang yang menerimanya.
Seri selanjutnya banyak terdapat adegan konyol yang kocak tentang perjuangan bang Jhoni meyakinkan calon mertuanya agar menikahkan Yusnilinda dengannya, Persaingan dengan pemuda lain yang ingin mendapatkan Yusnilinda dan godaan pihak ketiga dalam hubungan Jhoni dan Yus. Ceritanya mayoritas berbahasa Aceh, aku kemudian menganalogikannya seperti Ketoprak di Jawa atau Lenong Betawi. Mereka memiliki penggemar setianya masing-masing.
Dan perkembangan hiburan endemik ini berbenturan dengan budaya populer, sehingga pilihannya adalah “Jika tak bisa dilawan, maka berkawanlah”. Hasilnya, dulu pernah ada acara ketoprak Humor yang berisi artis populer dan pemain “pakem” berpentas dalam satu panggung. Bahasanya pun bukan lagi bahasa daerah, tetapi Indonesia. Yah begitulah, kita akan melihat, bagaimana Empang Breuh ini ke depan.( Wah maaf, saya bukan pengamat budaya)

Obrolan Menjelang Tidur: part one

Obrolan Menjelang Tidur: part one

Melalui seuntai obrolan, Tuhan hendak ajarkan aku tentang keuntungan dari menebarkan diri di permukaan bumi-Nya.Tanah Aceh.

Hari Senin malam. Malam pertama bang Muchlis, kepala sekolah SMP SB Biruen yang wismanya kutumpangi bermalam selama 2 bulan ke depan, akhirnya kembali menginap di rumah dinasnya ini. Setelah hampir satu minggu ia tidur di rumah orangtuanya dikarenakan sakit. Tensi darahnya drop, sehingga mata berkunang-kunang. Terlalu lelah  berjuang demi lembaga yang dikepalainya,
Bang Muchlis, begitu aku memanggilnya. Meskipun kepala sekolah, ia masih lajang. Usianya saja hanya terpaut satu tahun kurang 6 hari dariku. Ia putra asli Bireuen, yang sukses menjadi pemimpin di kotanya sendiri. Lelaki perawakan sedang  dan berkulit gelap manis inilah yang menyediAkan sebuah kamar dalam wisma dinasnya untuk kami. Lengkap dengan  TV Parabola, kamar mandi ganda, dan kipas angin atap (ceiling fan), semua  takkan pernah kulupa.
Malam itu rembulan malu-malu membuka kelopak matanyanya pada bumi. Bang Muchlis duduk di serambi depan rumah. Aku menemaninya. Awalnya kita ngobrol masalah pelajaran dan sekolah. Entah bagaimana ujungnya, kemudian ia bercerita tentang kondisi Bireuen dulu ketika malam seperti ini. “Waktu itu kalau sudah maghrib, orang lebih memilih di rumah. Karena kontak senjata antara TNI dan GAM bisa terjadi tanpa sudi untuk sedikit berbagi tanda. Kalau sudah terjebak di tengahnya, lebih baik tiarap saja. Itu kalau tidak ingin peluru mampir di batok kepala. Di rumah saja, tidur tidak berani di atas dipan, karena jendela rawan tembus peluru. Tidur di lantai cukup aman, karena sekelilingnya tembok.”
Bireuen termasuk basis GAM yang kental. Biasanya mereka yang bergabung adalah anak-anak muda. Cara perekrutannya,imbuhnya lagi, melalui khotbah Jumat dan orasi gerilya di desa-desa. Pemuda di desa yang jarang terjamah info dunia luar, mudah terprovokasi dan berbaiat menjadi anggota GAM.
“Nah, saya waktu itu masih SMA. Sering juga dikerjai oleh TNI.” Dengan pelafalan huruf “T” seperti orang Bali menyebut huruf yang sama (ia menyebutkan hanya TNI tanpa memakai kata oknum: karena itu sudah kebiasaanya).
Kadang jika TNI merazia kampungnya,dan ditemukan ada penduduk yang tidak bisa menunjukkan KTP, berarti kampung itu dianggap melindungi GAM. Seluruh pemuda kampung itu yang menerima getahnya. Mereka dikumpulkan di Meunasah (seperti surau), kemudian dijadikan sasaran kekesalan para anggota TNI. Ada yang menikmati ciuman popor senjata, merasakan lembutnya lars tentara di sekujur tubuhnya, tamparan, kerja membersihkan selokan, cacian dan deraan hukuman yang membuat jatuh harga diri. Semua kegiatan, kalau tidak boleh disebut ‘hinaan’ yang diperintahkan seolah wajib kifayah bagi para pemuda malang tadi.
"Saya udah kena beberapa kali. Tamparan pernah, push up sambil diinjak pantatnya-karena nggak bisa push up yang bagus…..pernah. Mmm… suruh hitung pagar juga pernah. Selesai dikerjain tentara, ya kami ketawa-ketawa lagi. Saling mengejek penderitaan masing-masing"
Bang Muchlish dengan roman muka datar bercerita pula tentang kebiasaan orang tua di Bireuen atau daerah lain. Yaitu orang tua yang memiliki anak laki-laki. Biasanya jika sudah menginjak remaja, lebih baik segera mengirimkan anak-anaknya ke Banda Aceh, Medan, Jakarta atau kota besar lainnya. Karena jika tidak, pilihannya hanya ada dua. Jadi anggota GAM atau dikira anggota GAM. Itulah kenapa ia dulu disekolahkan orang tuanya ke IAIN Sultan Ar-Raniri di Banda Aceh.
Bang Muchlish, dari sorot matanya yang teduh dan senyumnya yang tenang, terpancar kekuatan idealisme.

Friday, March 26, 2010

Merasakan Kereta Tepat Waktu di Indonesia

Masih dari Surabaya, Jawa Timur.

Pulang ke kota mu ada setangkup haru dalam rindu...
Masih seperti dulu tiap sudut menyapaku bersahabat
Penuh selaksa mana.....suasana Jogja (KLA Project, Yogyakarta)

Karena acara Training Sains Spiritual Quran disambung dengan perjalanan ke Madura dan Porong Sidoarjo, aku sampai stasiun Gubeng,Surabaya sudah agak sore. Tanya-tanya tiket, eee...semua kereta jurusan Jogja sudah berangkat. Untungnya ada kereta malam Express tujuan Bandung Mutiara Selatan yang melewati dan berhenti di Stasiun Tugu Jogja. Okelah kalo begitu...beli tiket dan berangkat.

Jadwal berangkat pukul 16.30 WIB dan perkiraan sampai Jogja pukul 21.55. Artinya menunggu beberapa saat sebelum kereta tiba. Lalu ingat lagunya Iwan Fals "Kereta Tiba Pukul Berapa?"
"Paling keretanya Telat...biasa jam waktu Indonesia". Namun....ternyata kereta datang tepat sekali waktunya, bahkan masih kurang sekitar 3 menit. "Lha iya, kan datang dari Surabaya kota, pantes aja on time." Kata Hendrata menghibur kekecewaan skeptasi kami.

Ternyata kereta ekspres Mutiara Senja ini lajunya cepat juga, tidak banyak berhenti. Aku teringat TGV (Train a grand vittese) di Perancis. Rasa bangga menyelinap juga dalam hatiku. Dan benar saja, kereta ini sampai di Jogja sesuai dengan waktu yang tertulis di tiket.

Aku merasakan kereta yang tepat waktu di Indonesia. Terima Kasih PT Kereta Api.

Tuesday, March 23, 2010

Ketemu BONEK di alam Nyata

Pas mau pulang dari Training "Negeri Nuh dan Gunung Ararat" kuputuskan untuk naik kereta. Males ah naek Bis...puyeng! Nah kita berdua diantar oleh mobil bu Azminah sampai ke Stasiun Gubeng. Eh tetapi sebelumnya muter dulu ke Semburan Lumpur Porong dan Suramadu. Menyenangkan dan spiritual banget (ntar ah keterangannya). Di perjalanan arah stasiun kutemukan long march para BONEK yang kesohor itu. Dengan kaos hijau khas PERSEBAYA mereka mengeskpresikan isi kepala mereka, "Ojok ngaku arek Suroboyo nek Dorong dadi BONEK", "BONEK IS NOT AFFRAID TO DIE" dan lain-lain.
Yang bikin nggak nyaman, mereka menepuk-nepuk dengan keras pintu  atau  jendela mobil yang sedang berjalan untuk minta minum atau receh. Ketika bergerombol, meraka tak peduli pada pengguna jalan yang lain.   Rambut kusut, punk atau celana kumal,  kaki "nyeker" dan atribut hijau putih mendominasi penampilan mereka. Hal itu bertahan sampai dalam stasiun. Bonek yang sebagian besar terdiri dari anak ABG itu nongkrong di tepian rel. Kelihatannya orang tua mereka tak begitu peduli dengan keberadaan mereka di tempat rawan itu. Mungkin masalah ekonomi atau edukasi  lah yang mengirim mereka menjadi seperti itu. Tak ada penyaluran kreatifitas, atau potensi membuat mereka merasa nyaman dalam rantai kaderisasi Bonek yang turun temurun. 

Dan...astaghfirullah, ada dua bonek ABG yang jatuh dari kereta, kelihatannya mereka salah naik , lalu loncat keluar. Meskipun kereta berjalan lambat, tapi tetap berbahaya. Satu jatuh di tengah rel dan satu lagi terguling di lantai. Orang -orang hanya melihat, termasuk aku. Bonek seperti luka koreng yang tak perlu diperhatikan. Mau diapakan? entah lah, mungkin kita perlu berdoa untuk mereka. Semoga Alloh memebri hidayah pada perjalanan hidup anak-anak ini. Selamat tinggal Surabaya.

Ngapain di Jawa Timur?

Melanjutkan posting sebelumnya tentang Jawa Timur.
Di wisma Universitas Surabaya tu kan Trainig sekaligus kajian "Negeri Nuh" versi ustadz Fahmi Basya. Sebenernya aku mau minta maaf, karena ikut kajian ini nggak dari hati gitu. Tapi karena diajak Hendrata dan semua ongkos dia yang tanggung. Okelah kalo begitu.

Isi kajiannya sih oke...kalau dilihat dari sisi al Quran- nya. Gimana enggak, wong ini termasuk invention kalau aku bilang. Jadi ustadz Fahmi itu mencoba menafsirkan kata di al Quran dengan kata di ayat lain yang serupa. Misal: kata "Arsy" yang selama ini di terjemahan Depag RI berarti "Singgasana" direvisi oleh beliau menjadi " Bangunan". Transliterasi ini berdasarkan kata serupa di ayat lain. Masih bingung? Download saja Flying book nya dan baca sendiri hehe....dijamin kerut2 deh itu kepala.

Tapi dari sisi "fenomena baru" yang ditemukan oleh ustadz aku belum bisa " Sreg" gitu. Nah ustadz berkata bahwa Trawas adalah negeri Nabi Nuh yang tenggelam itu, sedangkan bukit Judi di Yaman adalah bumi kembaran dari gunung Ararat tempat asal kapal nabi Nuh itu mulai dilamun air dari "Tannur". Dan tahukah apa yang dimaksud Tannur itu? Itu adalah air yang keluar dari dalam bumi, dimana tempatnya? Bromo!! Betapa tidak memoriku dari SD sampai Kuliah dijungkirbalikkan sambil salto-salto nggak karuan.

Bukankah dari kecil, yang dinamakan nabi-nabi Alloh itu senantiasa di Timur Tengah?? Bukankah acara ekspedisi JEJAK Rasul di TPI yang diputar setiap Ramadhan itu menunjukkan bahwa makam para nabi itu di Timur Tengah?!! Lha ini berubah 4827382738 derajat Fahrenheit. Nuh itu di Mojokerto, Sulaiman itu di Sleman dan Nabi Musa pernah sampai di Laut Banda! Songhhnnglherrrr!

But Anyway, materi ini tetap menarik karena memberi wawasan baru pada khasanah ilmu di masa depan. Ustadz Fahmi juga bilang: " Penemuan ini mungkin akan butuh waktu sangat lama...mungkin tiga generasi lagi."

Nah kembali ke Training, di sana aku lebih banyak makaaaan. Sedap-sedap Bro! Pecel Madiun, Ayam Krispy dan Snack mewah2. Belum lagi suasana yang mirip di Kaliurang plus ada elang hitam terbang sejajar dengan villa kami, bener-bener nggak akan kelupa! Lalu isi trainingnya gimana? Ya itu tadi, bikin memoriku salto dan loncat indah. Tapi, dengan suasana Al Quran dan Asmaa'ul Husana semua jadi terasa indah. Hidup Al Quran!

Unik lagi peserta dari Bekasi dan Jakarta, logat2 mereka yang betawi berpadu dengan logatku dan Hendrata yang Jawa. Hehe, Bhinneka Tunggal Ika Sodara.... Trus kita sholat di alam terbuka. Asyiiik banget...sejuk.

Monday, March 22, 2010

Ekspedisi Jawa Timur part 2

Udah adzan Isya pas aku nulis mulai posting ini. Ah, panggilan Alloh nomer satu. Aku sholat dulu, dan kerjaan ngetik ini kutinggal. Apa gunanya aku ikhtiar posting bagus-bagus kalo hubunganku dengan Alloh enggak bagus. Rehat sejenak ya.......

Alhamdulillah balik lagi ke meja komputer.

Sebelum cuma jadi bahasa kenangan lisan, aku tulis aja di blog ini.
Ekspedisi bermula pas SSQ DLA menyelenggarakan training lagi bersama KH Fahmi Basya. Oh ya, bagi yang belum kenal ustadz seribu Flying Book buka aja situsnya di www.ssq-dla.com atau  add friend saja di facebook  search: fahmi basya . Untuk alasan terakhir kali ini lah singkatan nama beliau sering diubah. dari KHFB yang berarti "Kyai Haji Fahmi Basya" menjadi "Kyai Haji Face Book"

Ekspedisi seperti sudah sering dilaksanakan, dan kali ini mengambil tempat di wisma Ubaya (Universitas Surabaya), Trawas, Mojokerto. Aku berangkat atas undangan Bunda Azminah dan ajakan Hendrata (dia lah yang mentraktir semua akomodasi dan transport ke Jatim :-) )
. Berangkat dari jogja dengan bis malam Eka jam 21.30. sampai di terminal Bungur Asih , Mojokerto jam jam 04.30 trus ke terminal Bratang

Jemputan pak Barnad bikin lega, kami langsung meluncur ke kantor SSQ DLA.Ternyata pesertanya ada juga dari jakarta dan Bekasi. Asyik tambah jaringan dan saudara. Berangkaaaaaaaaat....... ke Trawas, Mojokerto.

Subhanallah,  indah buangeeet pemandangannya. mana wismanya ada di atas bukit, pokoke TOP banget dah.