Tuesday, March 30, 2010

Obrolan Menjelang Tidur: part one

Obrolan Menjelang Tidur: part one

Melalui seuntai obrolan, Tuhan hendak ajarkan aku tentang keuntungan dari menebarkan diri di permukaan bumi-Nya.Tanah Aceh.

Hari Senin malam. Malam pertama bang Muchlis, kepala sekolah SMP SB Biruen yang wismanya kutumpangi bermalam selama 2 bulan ke depan, akhirnya kembali menginap di rumah dinasnya ini. Setelah hampir satu minggu ia tidur di rumah orangtuanya dikarenakan sakit. Tensi darahnya drop, sehingga mata berkunang-kunang. Terlalu lelah  berjuang demi lembaga yang dikepalainya,
Bang Muchlis, begitu aku memanggilnya. Meskipun kepala sekolah, ia masih lajang. Usianya saja hanya terpaut satu tahun kurang 6 hari dariku. Ia putra asli Bireuen, yang sukses menjadi pemimpin di kotanya sendiri. Lelaki perawakan sedang  dan berkulit gelap manis inilah yang menyediAkan sebuah kamar dalam wisma dinasnya untuk kami. Lengkap dengan  TV Parabola, kamar mandi ganda, dan kipas angin atap (ceiling fan), semua  takkan pernah kulupa.
Malam itu rembulan malu-malu membuka kelopak matanyanya pada bumi. Bang Muchlis duduk di serambi depan rumah. Aku menemaninya. Awalnya kita ngobrol masalah pelajaran dan sekolah. Entah bagaimana ujungnya, kemudian ia bercerita tentang kondisi Bireuen dulu ketika malam seperti ini. “Waktu itu kalau sudah maghrib, orang lebih memilih di rumah. Karena kontak senjata antara TNI dan GAM bisa terjadi tanpa sudi untuk sedikit berbagi tanda. Kalau sudah terjebak di tengahnya, lebih baik tiarap saja. Itu kalau tidak ingin peluru mampir di batok kepala. Di rumah saja, tidur tidak berani di atas dipan, karena jendela rawan tembus peluru. Tidur di lantai cukup aman, karena sekelilingnya tembok.”
Bireuen termasuk basis GAM yang kental. Biasanya mereka yang bergabung adalah anak-anak muda. Cara perekrutannya,imbuhnya lagi, melalui khotbah Jumat dan orasi gerilya di desa-desa. Pemuda di desa yang jarang terjamah info dunia luar, mudah terprovokasi dan berbaiat menjadi anggota GAM.
“Nah, saya waktu itu masih SMA. Sering juga dikerjai oleh TNI.” Dengan pelafalan huruf “T” seperti orang Bali menyebut huruf yang sama (ia menyebutkan hanya TNI tanpa memakai kata oknum: karena itu sudah kebiasaanya).
Kadang jika TNI merazia kampungnya,dan ditemukan ada penduduk yang tidak bisa menunjukkan KTP, berarti kampung itu dianggap melindungi GAM. Seluruh pemuda kampung itu yang menerima getahnya. Mereka dikumpulkan di Meunasah (seperti surau), kemudian dijadikan sasaran kekesalan para anggota TNI. Ada yang menikmati ciuman popor senjata, merasakan lembutnya lars tentara di sekujur tubuhnya, tamparan, kerja membersihkan selokan, cacian dan deraan hukuman yang membuat jatuh harga diri. Semua kegiatan, kalau tidak boleh disebut ‘hinaan’ yang diperintahkan seolah wajib kifayah bagi para pemuda malang tadi.
"Saya udah kena beberapa kali. Tamparan pernah, push up sambil diinjak pantatnya-karena nggak bisa push up yang bagus…..pernah. Mmm… suruh hitung pagar juga pernah. Selesai dikerjain tentara, ya kami ketawa-ketawa lagi. Saling mengejek penderitaan masing-masing"
Bang Muchlish dengan roman muka datar bercerita pula tentang kebiasaan orang tua di Bireuen atau daerah lain. Yaitu orang tua yang memiliki anak laki-laki. Biasanya jika sudah menginjak remaja, lebih baik segera mengirimkan anak-anaknya ke Banda Aceh, Medan, Jakarta atau kota besar lainnya. Karena jika tidak, pilihannya hanya ada dua. Jadi anggota GAM atau dikira anggota GAM. Itulah kenapa ia dulu disekolahkan orang tuanya ke IAIN Sultan Ar-Raniri di Banda Aceh.
Bang Muchlish, dari sorot matanya yang teduh dan senyumnya yang tenang, terpancar kekuatan idealisme.

No comments:

Post a Comment