Tuesday, March 30, 2010

Lantunan Ayat Suci di RSUD dr.Fauziah



     Setelah menemui Rabb-ku yang bersemayam di atas 'Arasyi, Shubuh ini 19 Februari 2008, kumasuki kembali ruang VIP Qara Al Munazil di bangsal anak-anak RSUD dr Fauziah, Kota Bireuen. Habibku tergolek di atas dipan Rumah Sakit Umum Daerah Bireuen dengan selang infus menancap di tangannya.Kudengar sayup-sayup lantunan ayat suci Al Quran dibacakan dari bangsal-bangsal pasien. Bersahutan seperti irama yang membentu harmoni. Sebuah kenangan di Rumah Sakit Umum Daerah kota Bireuen.

    Asal nama Rumah Sakit ini berasal dari seorang dokter wanita yang gugur saat konflik senjata di aceh awal tahun 1998. Dokter Fauziah mengabdikan dirinya sebagai tenaga medis untuk turun ke medan pertempuran antara TNI dengan GAM. Namun nyawanya justru terenggut dalam sebuah kontak senjata. Untuk mengabadikan jasa seorang dokter wanita yang gigih berjihad hingga akhir hayat itu, pemerintah Kabupaten Bireuen mengabdikan namanya sebaagai nama Rumah Sakit ini. RSUD dr Fauziah.
"...Dan janganlah engkau katakan bahwa orang yang gugur di jalan Allah itu mati, melainkan mereka hidup di sisi Tuhan mereka..."

    Sekali dan sekali lagi,Tuhan ingin men 'training' kami dengan cara misterius yang hanya dapat dipahami dengan  bahasa hikmah. Aku sangat percaya itu. Tidaklah Alloh akan membebani seseorang di luar kemampuannya. Episode kali ini Habib lah tokoh utamanya. Anganku mencoba mereview memori, beberapa hari sebelum hari ini mendatangiku.
    Semua berawal di hari Jumat malam tanggal 15 Februari 2008. Tidak tampak tanda-tanda anak semata wayangku itu akan sakit seperti ini. Malam itu, ia justru dengan gembiranya bermain bersama murid-muridku yang datang ke wisma dan minta diajari soal persamaan linear dengan satu variabel serta keanekaragaman hayati. Ada Nasir, Agus, Reza dan Ahlul.
    Habib masih bercanda-canda dengan Agus,sambil menyaksikan film horor “Rumah Pondok Indah” di TV. Dia bercengkrama dengan siswa-siswaku hingga banyak berkeringat. Setelah malam mulai larut, anak-anak pamit. Tak ada keganjilan apa pun yang diperlihatkan Habib. Hanya saja ia mulai batuk-batuk seperti gejala pilek biasa. Dini harinya ia mulai demam.
    Setelah malam itu, batuk pileknya semakin menjadi diikuti demam yang tidak terlalu tinggi suhunya. Kupikir gejala flu biasa, tetapi tidak, ketika ia muntah-muntah. Kesedihanku dimulai. Bocah dua tahun yang lidahnya tidak begitu cocok dengan bumbu dan makanan Aceh, sekarang ditambah dengan rasa mual yang bercokol di penceraannya. Muntah dan muntah setiap perutnya diisi. Sedih rasanya hati kami.
    Singkat cerita, hanya dalam hitungan jam…Habib melemah. Ditambah lagi ia selalu muntah tidak lama setelah makanan atau minuman masuk lewat kerongkongannya. Dan itu tidak mengenal tempat. Paling sering ia muntah di seprei…..Ya Alloh, di tempat ini tidak ada mesin cuci seperti di Jogja. Mencuci harus dilakukan secara manual dengan ‘mesin’ ciptaan Alloh berupa kedua tangan. Jadilah hari-hari sibuk mengajar istriku ditambah dengan pekerjaan mencuci seprei dan sarung bantal. Benar-benar setiap hari.
    Kupikir memang kadang aku ini suami yang tak tahu diri. Kubiarkan istriku mencuci seprei-seprei itu  sendiri hanya karena alasan “jijik” pada isi perut itu. Paling-paling aku hanya membantu menjemurkan saja. Baju-baju kotor Habib mulai membumbung juga, karena jika muntah, pasti selalu mengenai baju atau celananya. Istriku memang wanita tangguh. Beruntung ia mendampingiku dalam tugas ini, jika aku sendirian mungkin tak sampai hari ini aku sudah ingin pulang.
    Hari berikutnya aku ikhtiar dengan memberikan Habib makan roti, susu dan obat batuk Tetapi nihil, ia tetap memuntahkan makanan yang masuk ke lambungnya. Badannya semakin lemas, ia tak lagi mau bermain di luar. Ia lebih suka tidur di kasur depan TV. Repotnya, di kelas aku harus terus menggendongnya. Kasihan sekali anak itu.
Akhirnya kuputuskan untuk ke rumah sakit dr Fauziah di kota. Lokasinya lumayan jauh dari kompleks sekolah…. yah hampir sama dengan perjalanan ke jantung kota, hanya saja lebih ke utara sedikit.
Di RSUD kota Bireuen itu aku membuat kartu berobat untuk Habib. Dokter anak hanya ada dua orang di kota kecil ini. Ah, aku lupa namanya… pokoknya satu dokter lelaki dan satunya dokter wanita. Waktu itu yang sedang berdinas adalah sebut saja dr. Ahmad, Sp.A. Setelah mendapat giliran periksa, dokter berperawakan kecil itu hanya berkata, “ Wah, demam tinggi ini. Sudah mondok saja.” Demi mendengar kata itu, langsung tak nyaman hatiku. Rawat inap
    Telpon dari Jogja berdering ponsel istriku. Mungkin eyang kakung dan putrinya di sana punya “feeling”bahwa sesuatu terjadi pada cucu tercintanya.
“Hah, sakit dan muntah-muntah? Bawa ke dokter…atau kalau perlu Rumah Sakit saja.” Suara Bapak terdengar meninggi.
“Tapi Pak, Rumah Sakit di sini jauh dan kami bingung bagaimana nanti harus menjaga Habib jika di sana?”
“Sudahlah, diperiksakan segera… nanti jika butuh biaya atau apa, kalau perlu bapak kirim dari Jogja. Yang penting anakmu sehat.”
“Mmm… tapi…”
“Wi (Bapak memanggilku dengan nama kecil “Luwi”), kamu jauh-jauh ke Aceh untuk apa sih? mencari nafkah untuk keluarga, anak istri ‘kan? Sekarang anakmu sedang sakit, untuk apa uang yang kau kumpulkan selama ini jika tidak untuk keluargamu? Sudahlah, tidak perlu banyak-banyak hitung, segera bawa ke Rumah Sakit.”
    Benar sudah. Sorenya, kuminta bantuan pak Bayu lagi untuk boleh meminjam mobil kantor. Tentu saja ditemani bang Ishak. Awalnya kami ke klinik Malahayati, sebuah klinik dengan ruang inap yang lokasinya tak terlampau jauh dari komplek sekolah. Kondisi Habib waktu itu sudah terlalu lemah, ia hanya menangis jika badannya kembali tak nyaman. Dan lagi, ketika minta minum dan diberi, tak lama kemudian ia memuntahkannya lewat batuk. Sedih rasanya.
    Kumasuki klinik bercat putih itu. Seorang perawat wanita dengan jilbab putih berdiri dari meja jaganya menemui kami. Wajahnya khas wanita Aceh, hidung mancung, perawakan tinggi  dan intonasinya cepat jika bicara. Kusampaikan maksudku untuk memeriksakan anakku dan jika perlu biar mondok di sini.
“Sudah ke dokter Pak?” tanyanya padaku.
“Sudah.” Kukatakan nama dokter spesialis anak di RS dr Fauziah itu.
“Oo, pak dokter Ahmad juga bertugas di sini, tetapi jika sore seperti ini beliau ada di klinik prakterk pribadi di kota. Coba ke sana saja, saya tak berani memberi perlakukan pada pasien yang ada di bawah pengobatan pak dokter.”
“Maaf, kemarin katanya anak ini diminta untuk rawat inap oleh dokter Ahmad, tetapi kami memilih berobat jalan saja….”
“Nah, apalagi sudah ada ketentuan seperti itu. Lebih baik sekarang saja menemui dokter Ahmad di kliniknya. Jam empat atau setengah lima biasanya.Kalau sudah ada rekomendasi, nanti bisa ke sini lagi dan saya berani untuk memberi tindakan.”
    Bang Ishak mencoba melobi dengan bahasa Aceh, tetapi jawabannya sama. Habib tidak bisa langsung opname di tempat itu tanpa rujukan dari dokter. Heran aku, apa hanya ada satu dokter itu di kota ini? Apa klinik sebesar ini tidak punya dokter jaga yang bisa segera menangani dulu? Jawaban-jawaban dari petugas jaga itu membuatku kecewa. Bagaimana jika kasusnya gawat dan bertalian dengan nyawa, apa ya harus menunggu dokternya datang? bagiamana ini!!? Ah sudahlah pergi saja! Berkejaran dengan waktu, kami segera meluncur menuju kinik dokter spesialis anak itu. Bang Ishak bilang dia tahu tempatnya. Rasa kecewa bercampur sedih membuat kepalaku panas. Marah!
    Mobil berhenti di depan sebuah ruko yang disulap menjadi klinik. Masya Alloh, di ruang tunggunya terdapat lebih dari tiga puluhan pasien dan pengantarnya sedang hiruk pikuk menunggu. Kebanyakan anak-anak. Batuk, pilek, demam, tangisan, jeritan dan obrolan orang tua tentang keluhan anaknya adalah aksesoris ruangan itu. Dua orang gadis berkerudung duduk di meja resepsionis. Sementara jam yang melekat di dinding menujukkan pukul 16.35 waktu setempat
    Segera kutemui perawat yang merangkap resepsionis itu. “Pak dokter belum datang, tadi siang ada rapat. Mungkin jam 5 sore baru datang. Bawa kartu pasien?” Kujawab apa adanya. “Kalau begitu daftar dulu saja, Lima ribu rupiah.” Kulihat nomor antrian ternyata nomor urut 55. Ya Tuhan, anakku sudah dehidrasi dan bisa pingsan antriannya masih kesekian? Kutanyakan pada bang Ishak apakah hanya ada satu dokter spesialis anak di Bireuen? “ Iya Pak.Pasien-pasien ini datang dari banyak kecamatan”. Aku geleng kepala, sangat minim ternyata tenaga medis di kota ini.
    Setengah jam menunggu, Habib mulai batuk-batuk. Rintihan makin sering kudengar, tetapi ia tidak menangis. Aku mondar-mandir, emosi memadat di kepala. Sekarang Habib tidak mau duduk di kursi kayu,ia hanya mau duduk di lantai. Tentu saja kularang, dingin. Begitu kularang ia malah menangis. Ternyata dehidrasi karena terus mutah membuat badannya gerah, makanya ia ingin duduk dan berbaring di lantai. Periiiih sekali hatiku. Sementara perawat itu tidak bisa berbuat apa-apa.
Ingin rasanya aku marah pada dokter-dokter yang ada di Indonesia, kenapa banyak yang ingin jadi kaya dan punya prestise tinggi tetapi tidak memahami hakikat tenaga medis itu sendiri. Kenapa mereka berebut untuk bisa bekerja di Rumah Sakit yang menggaji mahal, di kota, ber AC dan megah, tetapi lupa bahwa lebih banyak masyarakat di daerah kecil seperti ini lebih membutuhkan dokter daripada di kota besar yang masyarakatnya mampu berobat ke luar negeri. Mengapa banyak orang pintar yang berpendidikan tinggi itu lebih berorientasi pada materi daripada menekuni profesi dengan dedikasi tinggi?
Jadi ingat, bagaimana mafia-mafia kesehatan yang membuat perjanjian dengan dokter tertentu agar obat mereka terjual. Dokter-dokter hitam itu memberi resep obat-obat mahal pada pasien agar dapat bonus penjualan, tanpa melihat pasiennya mampu atau tidak. Padahal mereka tahu, ada alternatif obat yang lebih murah. Tak habis pikir aku. Apanya yang salah? Bolehlah menjadi dokter dan ingin kaya, tetapi bukan dengan cara-cara yang instan. Mau hidup enak dengan cara cepat dan tidak mengindahkan nilai-nilai sosial. Ah, semoga pikiranku ini salah dan hanya akibat keletihanku saja pada rasa kecewa yang rajin menemuiku.

No comments:

Post a Comment