Tuesday, March 30, 2010

Obrolan Menjelang Tidur: Part Two



Rembulan masih saja setia menemani diskusi kami malam ini. Sama, di teras depan rumah dinas Kepala Sekolah SMP. Tentu saja dengan orkestra Gareng Pung  dan sedikit gelak tawa samar anak-anak dari asrama putra.

Entah bagaimana awalnya kami sudah masuk pada diskusi tentang pernikahan. Sebagai pelaku pernikahan dini, tentu saja dengan semangat kuceritakan semua liku perjalanan menikah saat kuliah. Bagaimana meyakinkan orang tua dan mertua agar mengizinkan kami menikah, menghadapi stigma masyarakat bahwa mahasiswa yang menikah saat kuliah biasanya karena           “kecelakaan” dulu, bagaimana menghadapai tantangan ekonomi agar kami berdua bisa tetap bayar kuliah sambil bisa makan 3 kali sehari, hingga akhirnya bukti-bukti bahwa menikah dini yang didasari semangat untuk menjaga agama dan diri justru akan memantik prestasi-prestasi!
Bang Muchlish mendengarkan dengan seksama, entah apa yang ada di pikirannya. Ia hanya berkata, “ Iya, saya juga harus bantu biaya kuliah adik. Saya tahu rasanya.” Putra nanggroe Aceh ini bergumam, “ Enak ya di jawa tidak harus pake emas kawin.” Mendengar itu aku sedikit protes, “Ya,pake dong Bang, maskawin itu kan salah satu rukun menikah!”

Bang Muchlish senyum, “Bukan maskawin tetapi Emas kawin.”
Mendengar hal itu aku mengernyitkan dahi. “ Maksudnya?”
“Pernah mendengar kata Mayam?” Aku geleng-geleng.
“ Mayam adalah satuan lokal Aceh untuk mahar. Ia senilai dengan 3 gram emas….mmmm berapa tuh, ya kira-kira sembilan ratus ribu rupiah lah. Jadi mayam  itu pula satuan syarat yang harus diserahkan kepada mertua anak gadis yang kita pinang. Besarnya terkadang memberatkan pihak laki-laki.”
“ Bukannya sebaik-baiknya wanita adalah yang paling mudah maharnya?”
“ Itu benar, tetapi di sini budaya mengalahan agama. Kalo boleh cerita, itu terjadi pula pada dua kakakku (kakak di Aceh artinya  mbak jika di Jogja_pen), kakak yang pertama menikah dengan mahar 15 mayam. Hhh, nggak tau, mungkin setelah nikah, uang mereka habis semua buat bayar mayam. Dan mayam itu pun buat orang tuanya, belum tentu sampai ke anaknya lagi. ”
Aku sedikit menyela, “Ada Bang, teman saya orang Medan, dia sekolah magister di Jogja. Waktu menikah memang hampir sama, yaitu pihak keluarga laki-laki harus menyerahkan sejumlah uang dan perabot rumah tangga. Tetapi setelah selesai, semua uang dan perabot itu diserahkan kepada mempelai wanita…..ya kembali lagi untuk rumah tangga mereka kelak.”
Bang Muchlis meneruskan lagi setelah manggut sedikit, “ Sedangkan kakak yang ke dua juga sama. Bahkan mamak saya meminta mayam yang lebih besar, 20 mayam.  Ya, sekitar 17 juta. Calon suaminya keberatan, begitu pun saya. Begitulah, adat juga bicara bahwa jika ada anak menikah dengan mayam tertentu, maka anak berikutnya harus lebih mahal dari yang pertama.”
“ Wah kok begitu ya?” Heranku.
“ Makanya, untuk kakak pertama saya mungkin kurang vokal tapi untuk kakak yang kedua saya berani protes dengan orang tua. Mana ada budaya mengalahkan Agama! Eee, malah saya dibilang bahwa disekolahkan tinggi malah menentang adat. Saya tidak menyerah, dan alhamdulillah kakak yang kedua ini kritis juga_dia jadi PNS dan sekarang kerja di Jakarta bersama suaminya, lalu memutuskan sendiri jumlah mayamnya berapa. Akhirnya mayam kakak kedua bisa lebih ringan dari yang disyaratkan. Memang tidak langsung boleh, tetapi terus saya bela. Yang mau nikah saja mau kok, kenapa orang tua yang mengatur. Memangnya yang mau nikah siapa? Bukan orang tuanya khaan?” Bang Muchlish tampak berapi-api.
   
Aku manggut-manggut, lalu bertanya lagi,” Sebenarnya apa sih Bang patokan murah mahalnya Mayam tu?”
“ Itu juga yang saya kurang paham, tetapi biasanya dari tingkat pendidikan si wanita atau kedudukan sosialnya di masyarakat. Kalau wanitanya sarjana, itu bisa 15 sampai 20 mayam. Makanya ada teman yag menikahi gadis ketika masih sekolah SMA. Memang tidak langsung berumah tangga, tetapi paling tidak mayam nya lebih murah. Benar lho, Itu terjadi.”
“Begitu ya, padahal di Jawa itu malah sebaliknya. Kalo di Jogja saja contohnya. Jika menikah, justru pihak wanita yang menyiapkan semuanya. Dari tamu undangan, pesta perkawinan, upacara ijab kabul dan sebagainya. Pihak laki-laki hanya datang, ijab dan pulang. Paling-paling bantu uang berapa gitu. Enak khan? Gimana enggak, setiap mahasiswa sekolah di sana, lulus, kemudian menikah dengan gadis Jawa, ia seperti orang penting. Ketika lamaran disetujui, ia tinggal “ menunggu panggilan” ijab kabul saja. Bahkan untuk urusan rumah bisa tinggal bersama mertua. Sudah biasa di sana.”
“ Kalau begitu nikah dengan orang Jawa saja apa ya?”
Bang Muchlis ikut tergelak lalu meneruskan kisah  yang semakin hangat saja ini, “Saya ada cerita asli dari teman saya. Ini hanya bagian kecil dari pemuda-pemuda Aceh yang mengeluhkan tentang mahalnya mahar untuk wanita Aceh. Padahal Islam, seperti kata abang tadi mengatur untuk mempermudah anak-anak muda supaya menikah, maka mahar yang terbaik adalah yang paling mudah. Kalau di sini budaya mengalahkan syariat. Nah, teman saya itu hanya punya uang dua juta. Dia ingin menikahi gadis yang dia cintai, tetapi sayangnya si ibu gadis itu ingin mahar 10 mayam. Tentu saja sangat berat bagi teman saya tadi. Ia menawar terus, tetapi si ibu juga tetap bersikeras.”
“Karena putus asa, ia curhat sama saya begini, Aku punya uang dua juta, kalo tidak ingat iman mending kupakai uang itu untuk ke Medan saja selesai urusan! Bayar bis 200 ribu, penginapan paling 300 ribu, di sana aku bisa gonta-ganti perempuan untuk lampiaskan hasratku. Biarin, orang tua cewek itu juga ikut tanggung dosanya! Habis mau gimana lagi, mau nikah saja susah, anak kok seperti barang dagangan untuk dibeli!
“ Masya Alloh” Dalam hati aku turut sedih. Sedikit banyak aku pernah merasakan rasanya ketika ingin menikah dan tidak pula izin kunjung datang. Sungguh ironi, di serambi Mekah yang ditahbiskan menjunjung Syariat Islam ini hal tersebut masih saja terjadi. Menurutku adat ini jika terus dipertahankan akan merusak pelan-pelan dari dalam. Jika para pemuda sulit menikah, maka mereka bisa terjerumus maksiat yang lebih besar. Sedangkan para wanita jika sekolah tinggi-tinggi dan mayam nya semakin mahal, dikhawatirkan sedikit peluangnya untuk dipinang oleh laki-laki. Bisa dibayangkan jika pemuda-pemudi muslim dalam usia yang sudah wajib menikah tetapi terhalang oleh adat yang mempersulit tadi. Resiko zina menjadi lebih tinggi. Wahai para orang tua yang budiman, tolong dengarkan suara hati putra-putrimu ini.
***
    Malam semakin larut. Kantuk datang dengan gaya khasnya. Kami sudahi obrolan itu tanpa solusi pasti untuk permasalahan yang kami bincangkan. Bang Muchlis masuk ke kamarnya, begitu pun aku. Di kamar, aku melihat istriku dan Habib sudah tidur. Entah kenapa, sebuah perasaan menyelinap di relung dadaku. Aku merasa sangat bersyukur telah berhasil mendapatkan istriku. Aku dianugerahi Alloh pendamping hidup dengan sedikit perjuangan saja, jika dibandingkan dengan saudara-saudaraku pemuda Aceh di sini. “ Alhamdulillah Ya Alloh, Engkau telah berikan nikmat yang besar padaku. Di saat gairah kepemudaanku sedang mencapai buncahan titik rawannya, Engkau redakan dengan datangnya belahan jiwa di sisiku. Alhamdulillah”.

    Kubelai rambut istriku, kuberi kecupan di keningnya. Ia terbangun oleh rasa hangat di kening. Tersenyum. Dan....... malam itu begitu hangat untuk kami berdua.
Obrolan Menjelang Tidur: Part Two

Rembulan masih saja setia menemani diskusi kami malam ini. Sama, di teras depan rumah dinas Kepala Sekolah SMP. Tentu saja dengan orkestra Gareng Pung  dan sedikit gelak tawa samar anak-anak dari asrama putra.

Entah bagaimana awalnya kami sudah masuk pada diskusi tentang pernikahan. Sebagai pelaku pernikahan dini, tentu saja dengan semangat kuceritakan semua liku perjalanan menikah saat kuliah. Bagaimana meyakinkan orang tua dan mertua agar mengizinkan kami menikah, menghadapi stigma masyarakat bahwa mahasiswa yang menikah saat kuliah biasanya karena           “kecelakaan” dulu, bagaimana menghadapai tantangan ekonomi agar kami berdua bisa tetap bayar kuliah sambil bisa makan 3 kali sehari, hingga akhirnya bukti-bukti bahwa menikah dini yang didasari semangat untuk menjaga agama dan diri justru akan memantik prestasi-prestasi!
Bang Muchlish mendengarkan dengan seksama, entah apa yang ada di pikirannya. Ia hanya berkata, “ Iya, saya juga harus bantu biaya kuliah adik. Saya tahu rasanya.” Putra nanggroe Aceh ini bergumam, “ Enak ya di jawa tidak harus pake emas kawin.” Mendengar itu aku sedikit protes, “Ya,pake dong Bang, maskawin itu kan salah satu rukun menikah!”

Bang Muchlish senyum, “Bukan maskawin tetapi Emas kawin.”
Mendengar hal itu aku mengernyitkan dahi. “ Maksudnya?”
“Pernah mendengar kata Mayam?” Aku geleng-geleng.
“ Mayam adalah satuan lokal Aceh untuk mahar. Ia senilai dengan 3 gram emas….mmmm berapa tuh, ya kira-kira sembilan ratus ribu rupiah lah. Jadi mayam  itu pula satuan syarat yang harus diserahkan kepada mertua anak gadis yang kita pinang. Besarnya terkadang memberatkan pihak laki-laki.”
“ Bukannya sebaik-baiknya wanita adalah yang paling mudah maharnya?”
“ Itu benar, tetapi di sini budaya mengalahan agama. Kalo boleh cerita, itu terjadi pula pada dua kakakku (kakak di Aceh artinya  mbak jika di Jogja_pen), kakak yang pertama menikah dengan mahar 15 mayam. Hhh, nggak tau, mungkin setelah nikah, uang mereka habis semua buat bayar mayam. Dan mayam itu pun buat orang tuanya, belum tentu sampai ke anaknya lagi. ”
Aku sedikit menyela, “Ada Bang, teman saya orang Medan, dia sekolah magister di Jogja. Waktu menikah memang hampir sama, yaitu pihak keluarga laki-laki harus menyerahkan sejumlah uang dan perabot rumah tangga. Tetapi setelah selesai, semua uang dan perabot itu diserahkan kepada mempelai wanita…..ya kembali lagi untuk rumah tangga mereka kelak.”
Bang Muchlis meneruskan lagi setelah manggut sedikit, “ Sedangkan kakak yang ke dua juga sama. Bahkan mamak saya meminta mayam yang lebih besar, 20 mayam.  Ya, sekitar 17 juta. Calon suaminya keberatan, begitu pun saya. Begitulah, adat juga bicara bahwa jika ada anak menikah dengan mayam tertentu, maka anak berikutnya harus lebih mahal dari yang pertama.”
“ Wah kok begitu ya?” Heranku.
“ Makanya, untuk kakak pertama saya mungkin kurang vokal tapi untuk kakak yang kedua saya berani protes dengan orang tua. Mana ada budaya mengalahkan Agama! Eee, malah saya dibilang bahwa disekolahkan tinggi malah menentang adat. Saya tidak menyerah, dan alhamdulillah kakak yang kedua ini kritis juga_dia jadi PNS dan sekarang kerja di Jakarta bersama suaminya, lalu memutuskan sendiri jumlah mayamnya berapa. Akhirnya mayam kakak kedua bisa lebih ringan dari yang disyaratkan. Memang tidak langsung boleh, tetapi terus saya bela. Yang mau nikah saja mau kok, kenapa orang tua yang mengatur. Memangnya yang mau nikah siapa? Bukan orang tuanya khaan?” Bang Muchlish tampak berapi-api.
   
Aku manggut-manggut, lalu bertanya lagi,” Sebenarnya apa sih Bang patokan murah mahalnya Mayam tu?”
“ Itu juga yang saya kurang paham, tetapi biasanya dari tingkat pendidikan si wanita atau kedudukan sosialnya di masyarakat. Kalau wanitanya sarjana, itu bisa 15 sampai 20 mayam. Makanya ada teman yag menikahi gadis ketika masih sekolah SMA. Memang tidak langsung berumah tangga, tetapi paling tidak mayam nya lebih murah. Benar lho, Itu terjadi.”
“Begitu ya, padahal di Jawa itu malah sebaliknya. Kalo di Jogja saja contohnya. Jika menikah, justru pihak wanita yang menyiapkan semuanya. Dari tamu undangan, pesta perkawinan, upacara ijab kabul dan sebagainya. Pihak laki-laki hanya datang, ijab dan pulang. Paling-paling bantu uang berapa gitu. Enak khan? Gimana enggak, setiap mahasiswa sekolah di sana, lulus, kemudian menikah dengan gadis Jawa, ia seperti orang penting. Ketika lamaran disetujui, ia tinggal “ menunggu panggilan” ijab kabul saja. Bahkan untuk urusan rumah bisa tinggal bersama mertua. Sudah biasa di sana.”
“ Kalau begitu nikah dengan orang Jawa saja apa ya?”
Bang Muchlis ikut tergelak lalu meneruskan kisah  yang semakin hangat saja ini, “Saya ada cerita asli dari teman saya. Ini hanya bagian kecil dari pemuda-pemuda Aceh yang mengeluhkan tentang mahalnya mahar untuk wanita Aceh. Padahal Islam, seperti kata abang tadi mengatur untuk mempermudah anak-anak muda supaya menikah, maka mahar yang terbaik adalah yang paling mudah. Kalau di sini budaya mengalahkan syariat. Nah, teman saya itu hanya punya uang dua juta. Dia ingin menikahi gadis yang dia cintai, tetapi sayangnya si ibu gadis itu ingin mahar 10 mayam. Tentu saja sangat berat bagi teman saya tadi. Ia menawar terus, tetapi si ibu juga tetap bersikeras.”
“Karena putus asa, ia curhat sama saya begini, Aku punya uang dua juta, kalo tidak ingat iman mending kupakai uang itu untuk ke Medan saja selesai urusan! Bayar bis 200 ribu, penginapan paling 300 ribu, di sana aku bisa gonta-ganti perempuan untuk lampiaskan hasratku. Biarin, orang tua cewek itu juga ikut tanggung dosanya! Habis mau gimana lagi, mau nikah saja susah, anak kok seperti barang dagangan untuk dibeli!
“ Masya Alloh” Dalam hati aku turut sedih. Sedikit banyak aku pernah merasakan rasanya ketika ingin menikah dan tidak pula izin kunjung datang. Sungguh ironi, di serambi Mekah yang ditahbiskan menjunjung Syariat Islam ini hal tersebut masih saja terjadi. Menurutku adat ini jika terus dipertahankan akan merusak pelan-pelan dari dalam. Jika para pemuda sulit menikah, maka mereka bisa terjerumus maksiat yang lebih besar. Sedangkan para wanita jika sekolah tinggi-tinggi dan mayam nya semakin mahal, dikhawatirkan sedikit peluangnya untuk dipinang oleh laki-laki. Bisa dibayangkan jika pemuda-pemudi muslim dalam usia yang sudah wajib menikah tetapi terhalang oleh adat yang mempersulit tadi. Resiko zina menjadi lebih tinggi. Wahai para orang tua yang budiman, tolong dengarkan suara hati putra-putrimu ini.
***
    Malam semakin larut. Kantuk datang dengan gaya khasnya. Kami sudahi obrolan itu tanpa solusi pasti untuk permasalahan yang kami bincangkan. Bang Muchlis masuk ke kamarnya, begitu pun aku. Di kamar, aku melihat istriku dan Habib sudah tidur. Entah kenapa, sebuah perasaan menyelinap di relung dadaku. Aku merasa sangat bersyukur telah berhasil mendapatkan istriku. Aku dianugerahi Alloh pendamping hidup dengan sedikit perjuangan saja, jika dibandingkan dengan saudara-saudaraku pemuda Aceh di sini. “ Alhamdulillah Ya Alloh, Engkau telah berikan nikmat yang besar padaku. Di saat gairah kepemudaanku sedang mencapai buncahan titik rawannya, Engkau redakan dengan datangnya belahan jiwa di sisiku. Alhamdulillah”.

    Kubelai rambut istriku, kuberi kecupan di keningnya. Ia terbangun oleh rasa hangat di kening. Tersenyum. Dan....... malam itu begitu hangat untuk kami berdua.

No comments:

Post a Comment