Tuesday, March 30, 2010

Balada Matematika Moh.Amin

Inilah salah satu percik peristiwa yang membuat jam terbang seorang pendidik mekar. Atau kita sering berujar; asam garam orang hidup di dunia. Barangkali pengalaman seperti ini tidak banyak dialami oleh guru di daerah “normal” seperti sekolah lazimnya di Jogja. Ini Aceh saudara, sebuah wilayah NKRI yang pernah diterjang gelombang besar Tsunami dan diporak-porandakan oleh konflik bersenjata.
***

Aku mengajar siang, matematika lagi. Sebuah mata pelajaran yang bukan merupakan Fak-ku. Tapi karena tugas, maka tak ada pilihan lain. Bismillah. Detak Jam menunjukkan pukul 11.10WIB. Sesuai agenda, hari ini ada kuis matematika, semacam tes kecil untuk mengetahui tingkat pemahaman anak-anak tentang pelajaran ini. Semua khusyuk mengerjakan lembar soal yang kubagikan. Namun ada satu anak yang beda. Moh. Amin, atau panggil saja Amin.
Wajah anak ini “Aceh sekali” begitu pun logatnya. Sangat kental. Ia sering bicara bahasa Aceh daripada Indonesia. Baru beberapa pekan aku mengajar di sekolah ini, sehingga belum semua karakter anak kuhafal. Hanya lewat SISTO saja aku membaca riwayat mereka. Dan kurasa itu sangat belum cukup. Dan yang kukenal dari seorang Amin ia adalah sosok pemberontak. Ia belajar sesuai dengan kemauannya sendiri, asal pelajaran itu bisa buat ia bergerak dan berekspresi,ia akan senang. Tapi jangan ditanya jika sebaliknya. Begitu pun kejadian kali ini.

Suasana tenang ujian terusik ketika kulihat Amin tidak mengerjakan soal matematika yang kuberi. Ia malah memanggul tas ranselnya seolah ia mau pulang. Bahkan soal yang kubagikan satu soal untuk dua siswa dengan nomor ganjil-genap malah dicoret-coretnya. Agak emosi pula aku, kertas di sini tidak mudah di dapat. Fotokopi saja harus mencatat di lembar penggunaan aset; Fotokopi apa, untuk apa, berapa lembar, lalu tanda tangan. Eeee ini anak malah menyia-nyiakan kertas. Soal dicoret-coret lagi. Apa maunya anak ini.
Kudekati ia, agak keras kutegur Amin,
“ Hei Amin, ada apa denganmu? Kenapa soalnya tidak dikerjakan?”
Ia menjawab sekenanya, “ Susah lah Pak. Tak bisa saya.”
“ Tidak bisa boleh saja, tapi tidak harus mencoret-coret soal begini. Kamu tidak menghargai saya Ya?”
Amin  terdiam. Tetapi matanya tajam menatapku. Tak ada rasa gentar sedikitpun dengan teguranku. “ Lalu kenapa kamu bawa tas, mau keluar hah?”
“ Iya Pak, di sini tak ada kerjaan.” Jawabnya ringan.
“ Apa?! Tak ada kerjaan katamu?! Baik, kalau begitu di luar banyak sepatu yang belum rapi. Sekarang keluar sana dan rapikan!!”
Amin diam, kali ini dia tidak menatap mataku seperti tadi. Ia hanya menggeleng acuh. “ ……”
Semakin merah telingaku, kurebut soal dari hadapannya dan kuberikan pada Ahlul Zikri dan Fata Imanda yang duduk di meja belakangnya. Amin tetap diam tanpa protes. Dan benar saja, hingga akhir kuis ia hanya duduk, diam dan mencoret kertas tanpa peduli yang sedang berlangsung di kelas. Aku hanya geleng-geleng kepala, orang Jawa bilang “ Judheg rasane”
Jam sekolah usai, namun rasa penasaranku belum. Bakda Sholat Zuhur dan makan siang, aku duduk di tepi koridor dekat asrama. Semakin ingin aku untuk mengenal anak didikku lebih dekat. Kuputuskan untuk bicara lebih dekat. Kali ini dengan VII A girls, yang memang sedang berkumpul di dekatku duduk.Mereka adalah Ayu, Safrina, Una, Elfi and friends yang seperti diundang untuk turut nimbrung. Hm, mungkin selama ini aku terlalu ‘guru’ buat mereka, sehingga ketika melihatku sedikit berakrab maka hilanglah keraguan untuk berinteraksi lebih dekat.

Dan seolah ada sutradara yang mengarahkan perbincangan kami pada Moh.Amin, anak Meulaboh yang tadi kubentak. Dari perbincangan itu barulah aku tahu siapa Amin dari Una dan Ayu:
“Kasihan anak itu Pak,dia dulu korban konflik. Dia sebatang kara, ayah dan mamaknya meninggal saat bentrok TNI dan GAM. Sekarang dia agak-agak stress gitu.”
Bergetar dadaku, kucoba bertanya lagi.   
“Dia dulu jadi anak jalanan Pak. Setelah orangtuanya tidak ada, dia dipelihara orang bersama adiknya. Tapi dia sering disiksa. Lihat saja pak, di badannya ada bekas luka-luka. Disiram air panas, dipukul dan dirotan. Itulah Pak, jadi dia tidak betah. Kaburlah ia.” Cerita Mariana dengan logat khas Aceh.
“Tapi Pak... Amin setelah kabur teringat adiknya, lalu balik lagi ke rumah orang yang memungut dia tadi. Di sana adiknya sudah tidak ada. Nggak tau, sudah dijual mungkin. Amin stres Pak, sampai akhirnya di ditemukan oleh guru sini di terminal bis. Tapi selama sekolah disini, setiap dia ingat adik atau orang tuanya yang sudah tidak ada, dia sering marah-marah sendiri. Ditendangnya kotak sampah dan mengumpat-umpat, atau kadang soal ulangan di yang jelek nilainya dibuang di muka ibuk guru. Lagi-lagi ia kenak marah. Sama buk Fitri juga begitu dulu.”
   
Astaghfirullah.Ya Alloh, ampuni aku. Termenung aku sebentar. Pantas dari dulu pertama aku masuk kelas matematika, Amin tak pernah membawa buku. Ia senang lebih senang mencorat coret kertas dan cuek dengan  tulisan di papan tulis. Aku ingat protesnya waktu ketika pelajaran  matematika  tidak kubuka denga ice breaking. “Main lah Pak, jangan kelas B saja yang diberi!” Dari testimoni kawan-kawan sekelasnya itu, baru kusadari bahwa aku telah berbuat zalim pada Amin yang malang. Aku makin merasa bersalah karena sudah membentaknya tanpa belajar tentang apa yang melatarbelakanginya berbuat hal itu.
Sadar dari lamunan, kusadari mereka menanti aku bicara lagi. Kualihkan pembicaraan pada topik yang lain.
“Siapa lagi yang ada dari Meulaboh?”
“Ada pak, Qisthi.” Lalu mereka saling menggoda jika ada nama anak laki-laki disebut namanya, dijodoh-jodohkan begitu. Masa puber.
“Kalau Ayu dari Langsa Pak.”
Kualihkan pandangku pada gadis berkerudung hitam manis yang duduk di depanku itu. Di kelas ia sangat periang. Dialah yang sering main pukul-pukulan dengan anak lak-laki.
“Ayu dulu hidup di gunung Pak.”
“Eee maksudnya, nggak kena Tsunami?” Tanyaku memperjelas.
“Bukan Pak, ayah dulu nggak diterima tinggal di desa, jadi harus naik ke gunung”
“Oo, jj..jadi ayah Ayu GAM ya?” Aku bertanya dengan hati-hati
“Iya pak.” Jawabnya_ yang aku heran, ia menjawab sambil tersenyum. “Sekarang di mana?”
“Ayah sudah meninggal waktu perang, kena tembak tentara. Nggak ada lagi, Pak.”
“Innalillahi...” Heranku sekali lagi, masih bisa anak ini mendermakan senyumnya padaku.
Pembicaraan itu berlanjut dengan renyah, meskipun dibaliknya aku menahan sedih. Anak-anak muridku yang malang.    Waktu demi waktu telinga serta hatiku terus diajari oleh murid-muridku ini tentang nilai kesabaran, keteguhan dan ketabahan. Satu demi satu mereka bercerita tentang rumahnya yang hancur diterjang gelombang, keluarga mereka yang tewas,  harta yang habis dan....soal matematikaku yang terlalu sulit.
Pantas, selama ini nilai Matematika di dua kelas yang kuajar berkisar antara  re mi fa sol la. Kupikir waktu itu aku hebat karena  berhasil menunjukkan “standar Kota Pelajar Yogyakarta” pada mereka.

Aku layak menyesal, karena membuat soal tidak dari sudut pandang mereka. Ego terlalu melangit, ingin bekerja instan tanpa riset mendalam. Benar kata orang bijak, bahwa apabila nilai sebagian besar siswa jelek, jangan salahkan siswanya, tetapi salahkan gurunya karena tidak bisa memahami sejauh mana kemampuan siswanya. Alias gurunya yang nggak pinter! Baru sekarang terasa sekali makna kalimat itu bagiku.
Tak kusangka Amin melintas di depan kami. Ia tampak murung. Mungkin hari ini ia sedang teringat lagi dengan adiknya, ayahnya, mamaknya atau kehidupan jalanannya dulu. Kusapa dia, “Where are you going Amin?” Ia menoleh sedikit, tersungging di bibirnya sebuah senyum getir. Tidak ia jawab petanyaan basa basi itu. Ia hanya berlalu melewati diam kami. Entah apa yang bergemuruh di hatinya. Entah.

No comments:

Post a Comment