Tuesday, March 30, 2010

Hang Out @ Saturday Night

    Bulan menggantung tanpa tiang, membentuk lingkaran tak sempurna. Warnanya kuning keperakan. Seperti biasa kubelah lapangan sepakbola dengan garis diagonal menuju mushala Al Ikhlas untuk maghrib berjamaah.
    Subhanallah, meskipun setiap hari kulihat jika akan berangkat sholat Maghrib, pemandangan di angkasa itu rajin membuatku berdecak kagum. Kawanan kelelawar besar pulau Sumatera mengepak-kepakkan tungkai depan berselaputnya, mengarungi senja menuju arah selatan. Warna gelapnya yang diselimuti temaram, tampak anggun membelai udara. Panjang tungkai depan berselaputnya dari ujung ke ujung mencapai panjang papan skateboard. Tanpa sadar bibir ini berucap lirih menyucikan asma Alloh.
    Malam minggu, malam libur. Meskipun tak begitu besar efeknya bagi anak-anak yang tinggal di asrama ini. Minggu atau bukan, mereka tetap tinggal di sekolah. Itulah kenapa, mulai sore ini anak-anak klas VII dan VIII diajak bermain, bersenang-senang bersama dengan games edukatif di lapangan sepakbola. Games ini atas inisiatif bu Jamilah, sarjana psikologi dari UGM ini melakukan evaluasi berdasarkan ilmunya, bahwa anak-anak ini berpotensi tinggi terancam kejenuhan kompleks. Apalagi jadwal kegiatan asrama (pengajian,hafalan dan banyak aktivitas lainnya) begitu padat.
    Bu Sari, sebagai guru pendamping asrama putri menjadi fasilitator games bersama bu Jamilah, atau biasa kupanggil “Jemi” saja. Mereka tampak bergembira. Kulihat juga di sana ada Safriadi, Misriadi, Syafari, Juliadi siswa laki-laki kelas VIII yang banyak dikeluhkan guru-guru atas 'keaktifan' mereka yang berlebih di dalam kelas.
***
Malamnya hang out ke kota. Untuk makan malam kami, kuputuskan untuk membeli mie dan nasi goreng di rumah makan Habibi. Dari  jok belakang kereta bang Muchlis kulihat ada pasangan muda mudi berboncengan mesra, lho kok boleh Bang? Katanya sudah ditetapkan syariat dalam Kanon? Bang Muclis bilang,” Yah sedang nggak ketahuan polisi syariah aja. Biasanya mereka kucing-kucingan. Kalau ada polisi Syariat pasangan seperti ini tidak kelihatan, tetapi jika tidak ketahuan ya seperti itu.” Aku hanya manggut-manggut saja, pikiran positifku mencoba mengatakan, “Ah itu mungkin saja abang dan adiknya.”
    Sampai di pusat kota, ibukota kabupaten menjadi riuh dengan anak-anak muda yang bercengkrama di tugu perempatan kota Juang. Seolah seluruh warga Bireuen malam itu turun ke jalan: malam Minggu gitu lho. Kontras sekali dengan waktu siang menjelang sore di hari-hari biasa, kebanyakan hanya mereka yang pulang kerja dan cari hiburan kuliner berupa nasi goreng seafood atau mie khas Aceh saja yang meramaikan kota. Tapi jika sudah malam Oo maak...ramai 'kali. Hingar bingar musik remix dari kios kios DVD (hijack quality) tak mau kalah meramaikan malam panjang. Yah semacam DuGem jalanan lah he he he...
    Memang tingkat hiburan di Bireuen terhitung sedikit, kecuali jika ada pemutaran langsung tanding bola, penuuh sekali itu warung-warung kopi. Jangan salah, warung kopi di sini, meskipun sedikit semrawut, bertengger di dindingnya TV Flat wide screen atau Plasma TV. Antena parabola seharga 500 ribu s.d 2 juta bukan barang mewah di sini, karena itulah memang syarat utama siaran TV bisa masuk.  
    Dalam perjalanan pulang aku melihat lumayan banyak becak motor yang masih beroperasi, sekali lagi…malam minggu gitu loh. Uniknya motor yang dipakai untuk becak ada juga yang termasuk keluaran akhir. Ada Honda Tiger tahun 2007 ada juga bebek keluaran tahun belakangan. Bang Muchlis turun bekomentar. Karena ia warga Aceh tulen, maka komentar ini kusimak baik-baik.
    “Orang sini memang begitu Bang, konsumtifnya parah. Jadi jangan heran kalau motor bagus-bagus jadi becak. Tiap ada motor baru, dijualnya lah motor miliknya untuk uang muka beli keluaran terbaru; Ciciiil kredit.” Sekali lagi denga huuf 'T' yang tebal seperti orang Bali.
    “Hmm, pantas pula beberapa hari yang lalu, setiap aku ingin membeli sesuatu di toko dan melihat tempat parkirnya, berjajar di sana motor-motor mulus keluaran terbaru. Sempat aku berpikir bahwa orang Bireuen kaya-kaya. Mungkin penghasilan mereka tinggi yang diikuti daya beli tinggi juga. Ternyata...dugaan tanpa data  banyak melesetnya.
Kami masuk ke gerbang sekolah Sukma Bangsa, kulihat sekilas Satpam di dalam  pos jaga sedang memainkan Ponsel NOKIA Nseries seharga dua jutaan-nya. Aku hanya tersenyum. Satu data lagi…..pikirku.
***
Di kompleks rumah dinas ternyata juga tak kalah gempitanya. Ternyata malam panjang itu di sekolah diadakan pemutaran film komedi Slapstick: Empang Breuh. Sungguh unik, film komedi ini adalah produksi Production House Lokal Aceh. Tak heran, dari wajah anak-anak itu tampak kegembiraan sekaligus kebanggan dengan “produksi dalam Naggroe” mereka. Dari tawa yang membuncah, tercermin betapa serunya komedi Slapstick, yang menurutku sedang saja tingkat lucunya_mengingat bahasanya juga bahasa Aceh yang tak kupahami, untuk mengocok perut pemirsanya.
    Bukti, bahwa masyarakat Aceh bisa menunjukkan kebanggaan dengan “produksi dalam Naggroe” mereka sendiri itu. Karena penasaran, kutanyakan pada Bang Muchlis, yang juga memiliki DVD original film itu, tentang isi dari film komedi tersebut. Ternyata Empang Breuh artinya adalah “Karung beras”. Film yang kepingan copy berseri-nya merata tersebar dari toko kaset resmi hingga distro jalanan itu, bercerita tentang kisah percintaan yang dibumbui komedi antara bang Jhoni (seorang preman insaf) dan Yusnilinda (bunga desa yang pernah kuliah di Medan).
    Pengambilan judul Empang Breuh berawal dari cerita ketika Ayah Yusnilinda terperosok ke dalam lubang dan tidak bisa keluar, hingga akhirnya ia tak sadarkan diri. Lewatlah tokoh utama, Bang Jhoni, yang kemudian menolongnya. Begitu tahu yang ditolong adalah Ayah Yusnilinda, bang Jhoni kabur. Bukan apa-apa, masalahnya ayah dari gadis yang ditaksirnya ini sangat benci pada preman kampung itu. Begitu si ayah sadar, ia bersyukur sekali pada orang yang menyelamatkannya. Sampai-sampai ia bernadazar bahwa jika penolongnya itu lelaki, maka akan dinikahkan dengan putrinya.  Waw, Yusnilinda yang jelita dan cerdas ibarat sekarung beras (keberuntungan yang besar) bagi orang yang menerimanya.
Seri selanjutnya banyak terdapat adegan konyol yang kocak tentang perjuangan bang Jhoni meyakinkan calon mertuanya agar menikahkan Yusnilinda dengannya, Persaingan dengan pemuda lain yang ingin mendapatkan Yusnilinda dan godaan pihak ketiga dalam hubungan Jhoni dan Yus. Ceritanya mayoritas berbahasa Aceh, aku kemudian menganalogikannya seperti Ketoprak di Jawa atau Lenong Betawi. Mereka memiliki penggemar setianya masing-masing.
Dan perkembangan hiburan endemik ini berbenturan dengan budaya populer, sehingga pilihannya adalah “Jika tak bisa dilawan, maka berkawanlah”. Hasilnya, dulu pernah ada acara ketoprak Humor yang berisi artis populer dan pemain “pakem” berpentas dalam satu panggung. Bahasanya pun bukan lagi bahasa daerah, tetapi Indonesia. Yah begitulah, kita akan melihat, bagaimana Empang Breuh ini ke depan.( Wah maaf, saya bukan pengamat budaya)

No comments:

Post a Comment